Di tengah arus hidup modern yang serba instan, banyak orang terburu-buru dalam mengambil keputusan. Kita sering kali dituntut cepat memilih, cepat bertindak, dan cepat meraih hasil. Namun, masyarakat Jawa sejak lama sudah punya prinsip hidup yang berbeda: pelan, tapi pasti; tenang, tapi mendalam.
Prinsip itu terangkum dalam dua kata yang sarat makna: Cocog dan Ngelmu Titen.
Makna Cocog: Menjadi Selaras dengan Waktu dan Keadaan
"Cocog" dalam bahasa Jawa bisa diartikan sebagai "tepat" atau "sesuai". Tapi lebih dari sekadar cocok secara teknis, filosofi cocog mengandung nilai-nilai keselarasan batin, kondisi sekitar, dan waktu yang pas.
Bagi masyarakat Jawa, sesuatu tidak bisa dipaksakan bila belum cocok. Meskipun niat baik, hasilnya belum tentu tepat bila tidak selaras dengan keadaan. Karena itu, keputusan dalam hidup tidak boleh tergesa-gesa. Harus dilihat dulu apakah semua hal sudah cocok: waktunya, tempatnya, orangnya, suasananya, dan tujuannya.
Ngelmu Titen: Belajar dari Pola-Pola Kehidupan
Jika "cocog" adalah hasil, maka "Ngelmu Titen" adalah prosesnya. Kata "ngelmu" berarti ilmu atau pengetahuan, sedangkan "titen" berasal dari kata "titeni" yang artinya mengamati dengan cermat. Jadi ngelmu titen adalah ilmu yang diperoleh dari pengamatan berulang terhadap peristiwa atau kebiasaan dalam kehidupan.
Masyarakat Jawa belajar dari pengalaman nyata yang terjadi berulang-ulang. Mereka mencatat, merenungkan, dan mengamalkan. Dari sanalah muncul pola. Misalnya, kalau langit mendung dan angin bertiup dari barat laut, biasanya hujan akan turun. Atau kalau seseorang lahir di weton tertentu, biasanya ia memiliki karakter khas yang bisa dipahami.
Prinsip ngelmu titen ini tidak hanya berdasar pada intuisi semata, tapi pada hasil kontemplasi yang panjang, terbentuk dari generasi ke generasi. Itulah mengapa orang Jawa dikenal sabar, tidak suka mendadak, dan selalu mempertimbangkan banyak hal sebelum melangkah.
Bukan Sekadar Intuisi, Tapi Pengalaman yang Sakral
Ngelmu Titen tidak bisa didapat hanya dalam semalam. Ia bukan ilmu instan. Bagi masyarakat Jawa, ini adalah hasil dari penghayatan hidup yang panjang, bahkan bisa dianggap sakral. Ada proses batin yang menyertainya, yang disebut dengan nglakoni.
Nglakoni berarti menjalani laku hidup dengan penuh kesadaran. Ini melibatkan tiga unsur utama: cipta (pikiran), rasa (perasaan/kepekaan batin), dan karsa (niat dan daya cipta). Dalam pengambilan keputusan, seseorang tidak hanya menggunakan logika, tapi juga mengaktifkan rasa halus dan pemahaman atas tanda-tanda alam.
Dengan nglakoni, seseorang menjadi lebih peka terhadap kehidupan. Ia tidak reaktif, tapi reflektif. Ia tidak memaksa hidup, tapi menyatu dengannya. Keputusan pun jadi lebih matang, karena lahir dari keseimbangan antara pikir, rasa, dan waktu.
Primbon: Wujud Konkret Ngelmu Titen dalam Kehidupan
Salah satu bentuk paling nyata dari prinsip Cocog dan Ngelmu Titen dalam budaya Jawa adalah Primbon. Bagi sebagian orang modern, primbon mungkin dianggap kuno atau mistis. Namun bagi masyarakat Jawa, primbon adalah sarana untuk membaca pola kehidupan berdasarkan pengalaman masa lalu.