Mohon tunggu...
Muharika Adi Wiraputra
Muharika Adi Wiraputra Mohon Tunggu... welcome my friend

memayu hayuning bawana

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Analisis Kekalahan Telak: Ketika Indonesia Dibongkar Habis oleh Jepang

11 Juni 2025   18:43 Diperbarui: 11 Juni 2025   18:43 378
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemain Timnas Jepang, Daichi Kamada mencoba melewati adangan pemain Timnas Indonesia, Yance Sayuri (STR/JIJI PRESS/AFP)

Dalam laga terakhir ronde ketiga Kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Asia, Timnas Indonesia harus menelan kekalahan telak usai dibantai Jepang dengan skor 6-0 di Stadion Suita, Osaka, Jepang, pada Selasa (10/6/2025). 

Dalam pertandingan ini Patrick Kluivert melakukan rotasi besar-besaran. Lima pemain diganti dari starting XI yang tampil saat melawan China. Tapi apa boleh buat, lawan yang dihadapi kali ini adalah Jepang tim yang sejak awal datang ke Kualifikasi Piala Dunia 2026 dengan misi sempurna. Dan sempurna pula mereka bermain malam tadi. Skor akhir 6-0 jadi cermin bagaimana Jepang bukan hanya unggul kualitas, tapi juga menang mutlak secara struktur permainan.

Jepang memulai pertandingan dengan formasi dasar 3-4-2-1. Namun di atas lapangan, formasi itu sangat cair dan fleksibel. Dalam fase build-up, shape berubah menjadi 3-2-5. Dua wingback naik, dua gelandang sentral (Endo dan Sano) jadi poros sirkulasi, dan tiga penyerang (Kamada, Kubo, Morishita) menyusun garis depan. Pergerakan ini menghasilkan overload di sepertiga akhir lapangan, dan Indonesia tidak mampu menyesuaikan.

Bahkan ketika Jepang tidak memegang bola pun, struktur pressing mereka tetap terorganisir. Setiap pressing dilakukan dengan cover shadow. Dua pemain Jepang akan menutup satu pemain Indonesia, dan satu lainnya memotong jalur umpan. Hasilnya: Indonesia kehilangan bola terlalu cepat, terlalu sering, di area yang terlalu berbahaya.

Kelebihan utama Jepang ada pada mobilitas dan kecerdasan dalam membaca ruang. Sano (no. 5) menjadi kunci. Ia sering bergerak seperti false fullback, naik ke tengah untuk menciptakan keunggulan jumlah pemain di lini dua. Mulai masuk ke area second line dan menjelajah leluasa. Ia tampak diberi free role, dan pergerakannya sering lolos dari radar pemain Indonesia yang sudah sibuk menjaga 5 penyerang Jepang. 

Ini membuat Jepang membentuk struktur 3-1-3-3 yang mematikan: satu pivot (Endo), tiga gelandang menyerang (Sano, Kubo, Mito), dan tiga penyerang di depan (Kamada, Machino, Morishita). Semua menyerang. Bersama Kubo dan Mito, mereka mengisi second line, sementara tiga pemain depan Kamada, Machino, dan Morishita sudah bersiap menembus kotak penalti. Transisinya Cepat, padat, dan terstruktur. Mereka seolah membagi lapangan dalam skema 6-6-6, atau paling tidak selalu ada enam pemain di setiap fase serangan, pertahanan, dan penguasaan bola. 

Formasi ini terlalu kompleks bagi lini belakang Indonesia yang bertahan dengan shape 5-4-1 yang terlalu pasif. 

Lebih dari sekadar skema, Jepang bermain cerdas secara matematis. Mereka menciptakan keunggulan jumlah pemain di berbagai lini. Dalam situasi 3 vs 2, atau 4 vs 3, mereka tahu harus menekan, menunggu celah, lalu mengeksekusi. Setiap cover pemain selalu dilakukan dua orang, memastikan tak ada ruang bebas.

Selalu ada back-up. Empat pemain non-kiper jaga area belakang buat antisipasi kalau ada pemain lawan yang lolos. Saat ngelock pemain, Jepang juga gak nanggung. Satu pemain lawan di-cover dua pemain Jepang. Dari sisi matematis aja udah kalah jumlah 6 vs 5. Makanya waktu Kubo bawa bola, bek Indonesia bingung mau nutup arah mana. Jepang emang tahu Indonesia bakal bertahan dengan 5-4-1, jadi mereka serang pakai 3-2-5. Dan pas diserang balik, formasi Jepang bisa jadi 4-4-2.

Kuncinya jelas: Endo dan Kubo. Endo jadi penyeimbang transisi dari defense ke tengah, sementara Kubo yang atur alur dari tengah ke depan. Mereka selalu bikin pola 3 lawan 2 atau 4 lawan 3, lalu ditutup dengan umpan silang atau cutback yang berbahaya. Kubo menjadi pusat dari strategi ini. Ia bermain di zona half-space area di antara flank dan tengah yang dikenal paling sulit dijaga. Kubo memanfaatkan kelengahan Indonesia.

Bek kanan Indonesia, Yance Sayuri, jadi titik paling lemah. Berkali-kali ia dipaksa naik menutup ruang di half space karena Hilgers terlalu hati-hati naik, atau karena Kubo sengaja menarik perhatian dengan positioning melebar lalu masuk ke dalam. Hal ini menciptakan celah antara Yance dan Hilgers. Tiga dari enam gol Jepang berasal dari zona ini, sisi kanan pertahanan Indonesia yang dibiarkan terlalu terbuka. 

Lemahnya koordinasi di lini belakang jadi sorotan. Indonesia tetap rigid dengan formasi 5-4-1 dan barisan gelandang sejajar saat bertahan. Jarak antar lini terlalu renggang, membuat Haye dan Pelupessy kesulitan melakukan pressing maupun cover passing lane. Tidak ada high press terstruktur, tidak ada kombinasi di tengah. Haye dan Pelupessy di lini tengah terlihat kelelahan mengejar bola dan hanya jadi bayang-bayang pressing yang tidak pernah berhasil. Begitu Jepang memegang bola, mereka tahu persis ke mana harus bergerak.

Indonesia justru kembali pada pola long ball direct, tidak seperti saat melawan China di mana bola bawah dan kombinasi pendek lebih dominan. Tekanan tinggi Jepang membuat Indonesia tidak pernah bisa bernapas, apalagi membangun serangan dengan nyaman.

Jepang bermain seolah tanpa beban. Namun di balik itu, mereka tetap menjaga struktur dengan disiplin tinggi. Setiap fase transisi di-cover dengan baik. Jika serangan gagal, selalu ada empat pemain tersisa di belakang untuk mengantisipasi counter-attack. Etos kerja mereka luar biasa.

Pergantian pemain yang dilakukan juga tidak mengubah apapun. Bahkan ketika Marselino, Lilipaly, dan Kambuaya  masuk, gaya main tetap sama: long ball ke depan, berharap ada yang menyambut. Padahal Jepang tidak memberi ruang sedikit pun untuk serangan balik. Mereka selalu menyisakan tiga hingga empat pemain di belakang. Ketika kehilangan bola, mereka langsung counter-press.

Yang lebih menyakitkan, Jepang menyerang tidak dengan gegabah. Mereka sabar. Mereka merancang serangan seperti menyusun puzzle. Bahkan saat sudah unggul 4-0, tempo tidak menurun. Intensitas tetap terjaga. Ini bukan soal balas dendam atau ingin mempermalukan. Ini soal profesionalisme. Mereka datang untuk menang, dan mereka tahu caranya. 

Sementara Indonesia entah disengaja atau tidak tampak seperti bermain setengah hati. Tidak ada satu pun kartu kuning, tidak ada tekel keras, tidak ada permainan berani. Apakah ini instruksi dari Kluivert. Bisa jadi.  Ini memang bukan laga penentu. Bisa jadi intensitas dijaga demi menghindari akumulasi kartu atau cedera jelang ronde keempat. Tapi jika demikian, maka kekalahan 6-0 ini bukan hanya karena kalah kualitas, tapi juga kalah intensi. Sebuah sinyal bahwa laga ini bukan segalanya. Namun secara permainan, terlalu banyak hal yang harus dibenahi. Jika dibanding laga pertama di GBK, perlawanan kali ini mengecewakan bila dilihat dengan skuad saat ini.

Apakah ini uji coba sistem atau sekadar eksperimen yang gagal?

Pergantian pemain tak memberi perubahan berarti. Bahkan skema dan gaya bermain Indonesia terkesan statis sepanjang 90 menit. Situasi ini mengingatkan pada kekalahan kontra Australia: kehilangan arah setelah tertinggal, tanpa rencana B yang jelas.

Jepang menunjukkan kelasnya. Mereka tidak hanya bermain cepat, tapi juga terstruktur, sabar, dan mematikan. Ini bukan kemenangan karena kualitas individu, tapi karena kedewasaan taktik dan kecerdasan bermain.

Indonesia tidak hanya kalah dalam skor. Kita juga kalah dalam hal pemahaman taktik, mental bertanding, hingga kemampuan adaptasi di lapangan. Ini bukan pertandingan yang setara sejak awal. Jepang bermain seperti mesin yang sudah terprogram. Indonesia? Seolah masih mencoba membaca manualnya.

Jika dibandingkan dengan laga melawan China, performa malam ini jauh dari progresif. Lawan China, Indonesia mencoba bermain dari kaki ke kaki. Melawan Jepang, semuanya kembali ke pola lama: main aman, long ball, dan terlalu cepat membuang bola. Tidak ada progresi, tidak ada kombinasi, bahkan tidak ada upaya meaningful di sepertiga akhir.

Ini adalah kenyataan dari Ronde Ketiga Kualifikasi. Di level ini, yang dilawan bukan tim Asia Tenggara lagi. Bukan tim yang bisa dikalahkan hanya dengan semangat dan garis pertahanan rapat. Di sini, tim seperti Jepang tak hanya menekan, tapi mengurung. Tidak hanya menyerang, tapi menghukum setiap kesalahan.

Dan malam tadi, Timnas Garuda dihukum habis-habisan.

Bagi Indonesia, ronde keempat adalah mimpi yang jadi kenyataan. Tetapi sejatinya Ronde 4 nanti bukan level yang lebih tinggi, tapi peluang hidup berikutnya. Setelah gagal lolos otomatis di di ronde 3, ini jadi perpanjangan napas dan asa. Kekalahan dari Jepang adalah pelajaran mahal. Tapi dari sinilah kita bisa mulai menata ulang fondasi dan strategi.

Kekalahan 6-0 ini bisa jadi tamparan keras. Tapi juga bisa jadi pelajaran besar. Bahwa jika ingin bersaing di panggung dunia, kita tidak cukup hanya punya pemain diaspora dan semangat kolektif. Kita butuh organisasi. Kita butuh struktur. Kita butuh keberanian mengambil risiko.

Karena sepak bola modern tidak lagi ditentukan oleh siapa yang lebih berlari cepat. Tapi siapa yang berpikir lebih cepat. Dan malam itu, Jepang jauh lebih cepat dalam berpikir, bergerak, dan menghabisi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun