Setiap bangsa yang ingin maju harus menaruh perhatian serius pada pendidikannya. Di sanalah akar peradaban tumbuh. Di sanalah masa depan dipersiapkan.
Bagi Indonesia, pendidikan bukan sekadar mengejar ketertinggalan atau meniru sistem luar yang terlihat lebih maju. Pendidikan harus berpijak pada kenyataan sosial yang kita hadapi dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat kita sendiri.
Berbagai upaya reformasi telah dijalankan dalam beberapa dekade terakhir. Akses pendidikan secara umum membaik. Sekolah semakin banyak, jumlah murid terus bertambah, dan program bantuan pemerintah menjangkau berbagai pelosok negeri.Â
Namun, tantangan mendasar masih belum sepenuhnya teratasi. Kesenjangan kualitas antara kota dan daerah tetap lebar. Di kota besar, anak-anak belajar dengan fasilitas lengkap.Â
Di banyak daerah, masih ada yang belajar di ruang darurat, kekurangan guru, bahkan tidak memiliki buku pelajaran yang memadai.
Selain itu, pendidikan kita sering kali terjebak dalam rutinitas teknis dan beban administratif. Banyak guru mengeluhkan waktu yang habis untuk mengisi laporan, dokumen penilaian, serta format daring yang menyita energi mereka dari kegiatan mengajar yang sesungguhnya.Â
Ini bukan asumsi semata---laporan tahunan pendidikan dan survei lapangan membenarkan hal ini. Ketika guru terlalu sibuk dengan administrasi, interaksi mendalam antara guru dan murid pun terabaikan.
Sementara itu, kurikulum nasional terus berganti tanpa evaluasi yang tuntas. Guru dan siswa dipaksa menyesuaikan diri dengan perubahan yang cepat, namun pendampingan di lapangan masih lemah.Â
Program "Merdeka Belajar" memang menjanjikan ruang kebebasan dalam belajar, tetapi di banyak tempat, tantangan struktural seperti minimnya infrastruktur, pelatihan, dan akses teknologi masih menghambat implementasinya.
Banyak siswa kini merasa sekolah bukan lagi tempat yang menyenangkan. Jadwal padat, tugas menumpuk, serta sistem pembelajaran yang kaku membuat mereka datang ke sekolah dengan beban, bukan semangat.Â
Laporan dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan meningkatnya keluhan terkait tekanan belajar dan kesehatan mental anak usia sekolah dalam beberapa tahun terakhir.Â
Di sisi lain, guru pun berada dalam tekanan yang tak kalah berat---kurikulum, administrasi, dan target nilai membatasi ruang mereka untuk mendidik dengan hati.
Padahal, sekolah seharusnya menjadi rumah kedua. Tempat anak-anak merasa aman, diterima, dan dihargai. Sayangnya, iklim sekolah masih terlalu berorientasi pada nilai ujian dan kedisiplinan formal.Â
Banyak anak merasa tidak punya ruang untuk mengekspresikan diri, mengeksplorasi minat, atau sekadar belajar dari kegagalan. Program pendidikan karakter yang semestinya menjadi penyeimbang, sering kali hanya berhenti di slogan dan seremoni.
Pendidikan sejatinya adalah proses yang menyentuh hati, bukan hanya mengisi kepala. Pendidikan bukan sekadar soal siapa yang paling cepat menjawab soal, tetapi siapa yang mampu berpikir kritis, bekerja sama, dan menghargai perbedaan.Â
Di sinilah kita perlu menata ulang sistem pendidikan secara serius---mulai dari kurikulum, pelatihan guru, hingga arah kebijakan nasional.
Pendidikan yang menghidupkan adalah pendidikan yang membuat anak bahagia datang ke sekolah. Anak-anak hadir dengan rasa ingin tahu, bukan rasa takut. Mereka belajar dengan semangat, bukan tertekan oleh beban.Â
Sekolah menjadi tempat bermain, bertumbuh, bersosialisasi, dan bereksperimen. Pendidikan memang perlu kedisiplinan, tetapi kedisiplinan yang lahir dari kesadaran, bukan paksaan.Â
Justru dalam suasana belajar yang menyenangkan, tanggung jawab dan semangat belajar tumbuh lebih alami.
Di tengah arus globalisasi yang deras, pendidikan Indonesia harus tetap berakar pada kebudayaan sendiri. Budaya lokal, bahasa daerah, seni tradisi, dan kearifan lokal bukanlah beban masa lalu, melainkan sumber pembelajaran yang hidup dan relevan.Â
Pendidikan yang berpijak pada budaya akan melahirkan generasi yang tidak hanya cakap secara global, tetapi juga kokoh dalam identitasnya. Anak-anak yang tahu siapa dirinya dan dari mana mereka berasal.
Dalam membenahi sistem pendidikan, kita pun tidak perlu terburu-buru. Kita sering kali tergoda untuk meniru sistem luar negeri yang tampak lebih modern.Â
Padahal, Indonesia memiliki kondisi, budaya, dan tantangan sendiri. Perubahan sebaiknya dilakukan bertahap, terukur, dan matang.Â
Jangan hanya mengejar citra kemajuan, tetapi pastikan setiap tahapan benar-benar mengakar dan bisa dirasakan dampaknya.
Kita perlu memperbaiki yang sudah ada terlebih dahulu---memperkuat pelatihan guru, menstabilkan kebijakan, menyederhanakan kurikulum, serta membangun ekosistem belajar yang membuat setiap anak merasa dihargai.
Belajar dari negara lain memang penting, tetapi yang lebih penting adalah memanusiakan pendidikan kita sendiri. Kita tidak sedang membangun mesin, kita sedang membentuk manusia.
Indonesia membutuhkan sistem pendidikan yang baku namun fleksibel---tidak mudah berubah setiap kali ada pergantian pemimpin, namun tetap mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman.Â
Konsistensi arah sangatlah penting, agar semua pelaku pendidikan tidak terus-menerus dipaksa menyesuaikan diri dengan kebijakan baru yang belum tentu siap diimplementasikan.
Ki Hadjar Dewantara telah memberi kita warisan pemikiran yang kuat: pendidikan adalah tuntunan, bukan paksaan. Maka, mari kita jadikan pendidikan Indonesia sebagai ruang yang membebaskan, bukan menekan.Â
Yang menyentuh hati, bukan sekadar memenuhi target nilai. Yang membentuk manusia seutuhnya---berpikir, merasa, dan berkarakter.
Karena pada akhirnya, pendidikan yang baik tidak hanya mencetak lulusan, tetapi membentuk manusia Indonesia seutuhnya. Dan di tangan merekalah, masa depan bangsa ini akan tumbuh dan dititipkan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI