Mohon tunggu...
Muharika Adi Wiraputra
Muharika Adi Wiraputra Mohon Tunggu... unknown

memayu hayuning bawana

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Pekerjaan di Indonesia, Antara Gengsi dan Realita

27 April 2025   22:47 Diperbarui: 28 April 2025   10:37 447
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi gambar (freepik/tirachardz)

Di Indonesia sendiri, persepsi tentang kesuksesan masih sering dikaitkan dengan jenis pekerjaan yang dijalani, bukan pada kontribusi nyata yang diberikan kepada masyarakat. 

Tidak jarang, bekerja di BUMN, menjadi anggota TNI, atau menjadi polisi dianggap sebagai puncak keberhasilan hidup. Seragam yang dikenakan pun kerap mendapat penghargaan lebih besar dibandingkan nilai kerja yang sesungguhnya.

Sementara itu, profesi yang dinilai kurang bergengsi --- seperti freelancer, konten kreator, atau pengusaha kecil --- masih sering dipandang sebelah mata. 

Padahal, tidak sedikit di antara mereka yang memberikan kontribusi ekonomi dan sosial yang besar. Sayangnya, tanpa atribut formal seperti seragam atau lambang institusi, keberadaan mereka kurang mendapatkan apresiasi yang sepadan.

Budaya ini, sejak lama telah membentuk kecenderungan untuk lebih mengutamakan simbol dibandingkan esensi. Sejak usia dini, banyak dari kita diajarkan untuk mengagumi profesi yang identik dengan seragam: polisi, tentara, dokter, pilot, hingga PNS. 

Tentu saja, profesi-profesi ini sangat memiliki peranan penting, namun penghargaan sering kali diberikan lebih kepada tampilan luar daripada nilai kerja yang sebenarnya.

Dalam psikologi sosial, kecenderungan ini dikenal sebagai symbolic status bias, di mana atribut-atribut seperti seragam, pangkat, atau gedung megah secara tidak sadar menimbulkan penilaian positif, tanpa menggali lebih dalam makna di baliknya.

Sebagian masyarakat yang menjunjung tinggi nilai kolektivitas, opini lingkungan sekitar menjadi salah satu faktor kuat dalam menentukan pilihan karier. 

Akibatnya, tidak sedikit individu memilih jalur profesi tertentu demi mendapatkan pengakuan sosial, bukan semata-mata karena panggilan jiwa atau kecintaan terhadap bidang tersebut.

Jika menilik lebih jauh ke belakang, pola pikir ini mungkin berakar dari warisan budaya feodalisme, ketika kedekatan seseorang dengan pusat kekuasaan seperti dekat dengan Raja atau penguasa menjadi ukuran status sosial. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun