Untuk mencapai stabilitas ekonomi, diperlukan koordinasi yang cepat dan efektif antara kebijakan fiskal (pemerintah) dan moneter (bank sentral), serta reformasi politik yang mengedepankan transparansi dan partisipasi publik. Kebijakan fiskal menangani penerimaan dan pengeluaran negara, sementara kebijakan moneter mengatur jumlah uang beredar dan suku bunga untuk mengendalikan inflasi dan mendorong pertumbuhan. Keduanya harus responsif dan terkoordinasi dengan baik, didukung oleh tata kelola politik yang transparan dan inklusif agar pelaku ekonomi dapat memahami, mempercayai, dan mendukung kebijakan yang diambil, sehingga stabilitas ekonomi dapat terjaga.
4. Warisan Ekonomi Pemerintahan Sebelumnya
Tidak bisa dielakkan bahwa pemerintahan sebelumnya, Â meninggalkan beberapa warisan ekonomi yang mempengaruhi kondisi saat ini. Defisit APBN sebesar 3,5% dari PDB pada tahun 2024, yang mengakibatkan peningkatan utang negara hingga mencapai Rp7.200 triliun per tahun 2025, menurut data dari Kompasiana, 2025.
Proyek infrastruktur besar-besaran telah meningkatkan konektivitas dan mengurangi biaya logistik. Namun, beberapa proyek tersebut meningkatkan beban utang negara. Defisit APBN yang terus meningkat dan ketergantungan pada utang merupakan tantangan besar bagi pemerintahan berikutnya, karena berisiko menurunkan kepercayaan investor, membebani pembayaran bunga, mengurangi pengeluaran produktif, dan berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Untuk mengatasinya, pemerintah akhirnya mengimplementasikan strategi pengoptimalan penerimaan pajak dan bukan pajak, melakukan efisiensi belanja negara, serta mengelola utang secara berkelanjutan.
Beban rakyat bisa diminimalisir jika pajak konsisten diarahkan progresif, PNBP dioptimalkan dari SDA dan aset negara, belanja negara efisien, serta ekonomi rakyat diperkuat. Jadi bukan rakyat kecil yang jadi sumber utama, melainkan kelompok kaya, korporasi besar, dan optimalisasi kekayaan alam.
Strategi efisiensi belanja negara melibatkan reformasi kebijakan fiskal, digitalisasi dan transparansi anggaran, serta penguatan monitoring dan evaluasi program. Sementara itu, pengelolaan utang berkelanjutan memerlukan pemeliharaan rasio utang dalam batas aman, pembiayaan domestik, diversifikasi instrumen dan pasar utang, manajemen risiko, transparansi, serta penggunaan utang untuk investasi produktif.
Ketimpangan sosial yang terus ada meski ada pertumbuhan ekonomi disebabkan oleh faktor seperti distribusi hasil pembangunan yang tidak merata, akses pendidikan dan keterampilan yang rendah, tidak meratanya persebaran penduduk akibat urbanisasi menjadi solusi perbaikan matapencarian. Serta kebijakan publik yang tidak mendukung distribusi kekayaan secara adil. Dampaknya meliputi peningkatan pengangguran dan kemiskinan, ketidakstabilan sosial, serta hambatan pada mobilitas sosial dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Faktor Sistemik, Historis, Dan Budaya Birokrasi
Mentalitas pengelola negara dan pengelolaan Aparatur Sipil Negara (ASN) yang "buruk" biasanya muncul dari faktor sistemik, historis, dan budaya birokrasi, dan ini berdampak pada pertumbuhan ekonomi dan stabilitas.
      1.     Warisan sejarah dan budaya birokrasi
Birokrasi Indonesia mewarisi karakteristik hierarkis dan kaku dari masa kolonial Belanda, yang kemudian sering kali ditandai oleh penekanan pada posisi dan birokrasi yang lamban, bukan fokus pada pelayanan publik yang efektif dan efisien, sebuah isu yang masih menjadi fokus reformasi birokrasi hingga kini.