3. Daya Beli Masyarakat yang Tertekan
Meskipun inflasi secara keseluruhan terjaga dalam kisaran sasaran Bank Indonesia, daya beli masyarakat tetap tertekan. Fenomena "rojali" (rombongan jarang beli) dan "rohana" (rombongan hanya nanya) mencerminkan perilaku konsumen yang lebih berhati-hati dalam pengeluaran, menunjukkan ketidakpastian ekonomi yang dirasakan di tingkat rumah tangga.
Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Â menjadi 12% dan kebijakan fiskal yang ketat memicu tekanan pada konsumsi rumah tangga, yang menyumbang lebih dari 50% Produk Domestik Bruto (PDB), Â sehingga memperlambat pertumbuhan ekonomi domestik dan meningkatkan risiko stagnasi, karena penurunan daya beli rumah tangga dan permintaan pasar. Kondisi ini menunjukkan adanya hubungan sebab-akibat di mana kebijakan yang meningkatkan beban fiskal pada rumah tangga dapat melemahkan permintaan domestik, yang merupakan salah satu motor penggerak utama perekonomian.
Respons Pemerintah terhadap Ketegangan Politik dan Dampaknya terhadap Ekonomi
1. Kebijakan Fiskal
Pemerintah Indonesia merespons ketegangan politik dengan kebijakan fiskal yang adaptif untuk menjaga stabilitas ekonomi dan daya beli masyarakat melalui APBN 2025--2026, dengan fokus pada keseimbangan antara menjaga kredibilitas fiskal dan memenuhi kebutuhan masyarakat, serta mengoptimalkan APBN sebagai instrumen stabilisasi dan pertumbuhan jangka menengah. Strategi ini mencakup penurunan defisit anggaran yang terukur, mendorong transformasi ekonomi melalui hilirisasi dan digitalisasi, serta memperkuat ketahanan pangan dan energi, seiring dengan komitmen pemerintah untuk menjaga kesehatan fiskal dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Kelemahan kebijakan fiskal yang adaptif termasuk risiko inflasi akibat belanja berlebihan, ketidakmampuan mengantisipasi kondisi ekonomi yang berubah-ubah, potensi stimulasi yang tidak memadai, serta tantangan dalam menyeimbangkan tujuan jangka pendek dengan stabilitas jangka panjang. Selain itu, ketergantungan pada data yang belum akurat dan rendahnya literasi fiskal masyarakat juga bisa menghambat efektivitas kebijakan ini dalam menjaga daya beli dan stabilitas.
a. Perluasan Bantuan Sosial (Bansos)
Pemerintah memperluas program Bantuan Langsung Tunai (BLT) menjadi 10 juta keluarga prasejahtera dengan total anggaran sekitar Rp12 triliun, yang bertujuan untuk menjaga konsumsi rumah tangga di tengah kenaikan harga kebutuhan pokok. BLT terbukti efektif untuk stabilisasi jangka pendek, menjaga daya beli masyarakat, dan mendorong konsumsi. Namun, efektivitas jangka panjang bergantung pada kombinasi kebijakan fiskal, reformasi struktural, dan pengembangan sektor produktif agar masyarakat tidak hanya bergantung pada bantuan tunai semata. Â Â Â Â Â Â
Selanjutnya ada pula Program Makanan Bergizi Gratis (MBG) ditujukan untuk siswa sekolah dasar dan ibu hamil, dengan tujuan utama menjaga daya beli, mendukung konsumsi, dan meningkatkan gizi masyarakat, terutama untuk mengatasi stunting dan malnutrisi, setidaknya demikian yang dijanjikan dalam kampanye pilpres.
Program MBG digulirkan mulai Januari 2025 dan kabarnya menjangkau jutaan penerima manfaat, termasuk siswa hingga balita di seluruh Indonesia. Target awal program ini adalah sekitar 3,5 juta penerima, dengan alokasi anggaran awal sekitar Rp2,5 triliun, meskipun anggaran dan jumlah penerima direncanakan akan terus meningkat. Program Makanan Bergizi Gratis mungkin saja efektif untuk jangka pendek dalam meningkatkan gizi, kesehatan, dan kehadiran sekolah, serta mendukung daya beli masyarakat. Namun, efektivitas jangka panjang tetap terbatas oleh masalah distribusi, ketergantungan, dan kurangnya dampak pada pertumbuhan ekonomi produktif.