Pada suatu senja yang tenang, ketika cahaya mentari meluruh lembut di antara pepohonan tua dan bayang-bayang hari mengguratkan keheningan di tanah yang suci, datanglah seorang pemuda ke hadapan seorang Syekh Sufi termasyhur. Wajah pemuda itu bersih, matanya jernih seperti embun pagi, dan langkahnya penuh hormat. Ia menunduk dalam, seakan hendak menaruh seluruh dirinya di kaki sang guru.
"Wahai Syekh," ucapnya dengan suara penuh ketundukan, "izinkan aku menjadi muridmu. Aku ingin menempuh jalan tasawuf, meniti lorong-lorong sunyi menuju Sang Kekasih."
Syekh yang bijak, yang wajahnya telah ditempa waktu dan jiwanya ditempa rindu, menatap pemuda itu dengan sorot mata yang dalam, seperti samudra yang menyimpan rahasia langit.
"Wahai anak muda," tanyanya pelan namun tajam, "pernahkah engkau jatuh cinta kepada seorang perempuan?"
Pertanyaan itu jatuh bagai petir dalam hening. Pemuda itu tertegun. Dadanya bergemuruh. Ia tak menyangka, dari lisan seorang sufi, terucap pertanyaan yang menurutnya begitu duniawi.
"Wahai Syekh," jawabnya setelah menarik napas panjang, "aku adalah penjaga mataku. Aku tak pernah memandang wanita dengan nafsu, apalagi membiarkan hatiku jatuh dalam cinta. Aku telah menjaga diri dari noda, dari api yang membakar kebanyakan manusia."
Syekh tersenyum. Senyum yang tak menyiratkan cela, melainkan kasih sayang seorang ayah kepada anak yang belum mengerti. Dengan suara selembut desir angin yang membelai padang rumput, ia berkata:
"Pulanglah, anakku. Kembalilah ke dunia, berjalanlah di tengah manusia. Rasakan bagaimana hati manusia hidup. Sampai engkau merasakan jatuh cinta---cinta yang membuat dadamu sesak, tidurmu gelisah, dan jiwamu terkatung antara harap dan getir---barulah kembali kemari. Maka akan kuajarkan padamu bagaimana mencintai Tuhan. Sebab jalan tasawuf bukan untuk hati yang beku. Ia hanya dapat ditempuh oleh mereka yang telah terbakar oleh api cinta, oleh mereka yang tahu bagaimana rindu menusuk dan bagaimana kehilangan memekik dalam diam."
Pemuda itu terdiam. Angin senja membawa sepi yang menggema di dalam dirinya. Lalu ia berpamit, melangkah dengan langkah yang lebih berat dari ketika ia datang. Dalam diamnya, tumbuh satu pertanyaan: mungkin, jalan menuju Tuhan memang harus dilewati lewat patah hati yang fana.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI