Apa akibatnya? “Kontraktor Suara” alias timses itu harus mengembalikan uang yang sudah mereka terima dari si caleg. Timses juga tidak mau rugi. Mereka mendatangi para pemilih yang tidak menyalurkan suara kepada caleg yang sudah disepakati.
Ketika didatangi timses, para pemilih itu mengaku memilih si caleg dalam Pileg lalu. Timses sudah bisa menduga jawaban para pemilih itu. “Sumpah pak, saya menyoblos caleg A,” begitu biasanya jawaban mereka.
Timses tidak kehabisan akal. Setiap mendatangi rumah pemilih, mereka selalu membawa kitab suci. Pada saat si pemilih mengatakan siap bersumpah, timses langsung meletakkan kitab suci di atas kepalanya. Si pemilih ketakutan.
“Maaf pak, saya gak enak dengan tetangga yang juga nyaleg, terpaksa saya coblos dia,” kata si pemilih.
Akhirnya uang yang sudah diterima si pemilih terpaksa dikembalikan. Selanjutnya, timses mengembalikan uang yang berhasil ditariknya kepada si caleg. Meskipun sebagian besar uang si caleg itu kembali, tetapi cukup besar dana operasionalnya yang hangus. Inilah yang sering membuat caleg gagal menjadi linglung.
Uang yang banyak belum menjamin seseorang bisa mulus ke kursi parlemen. Popularitas caleg ditambah kelihaian timseslah menjadi faktor penting lolosnya seorang caleg ke kursi parlemen.
Timses yang lihai akan mampu mengalahkan timses dari caleg yang lain. Pemilih dapat diyakinkan untuk menyoblos caleg yang disokong oleh timses itu. Jadi, Pileg kali ini sesungguhnya adalah pertarungan antar timses, bukan antar caleg.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI