Nada-nada harmoni alam mulai terdengar teduh di telinga; suara kicau burung dan lompatan cerlih dari satu tangkai ke tangkai yang lainnya meninggalkan suara halus yang sedikit meneduhkan batin.Â
Kelakar mereka dalam menyambut pagi menyiratkan semangat untuk berbuat sesuatu untuk kesempurnaan hari ini. Dedaunan tertiup angin segar nan halus, seperti mengajak untuk bergumul, menapaki keteduhan yang dibuatnya. Mentari pun belum terlalu keras bersinar, berkasnya seolah menyiratkan harapan nyata untuk kebahagiaan di hari ini.
Dibalik jendela yang minimalis itu terpotret wajah Riana yang sejak subuh tadi sudah menyambut harinya dengan rutinitas yang nyaris tanpa beban. Ada siratan kebahagiaan yang terpatri di wajah halusnya yang terlihat mengkhianati umurnya yang sudah tidak belia lagi.Â
Ada lelah yang membuat fisiknya harus terhenti dan kini menyimpan sorot matanya keluar jendela; mematungkan badannya yang cukup ideal, namun tak tampak ada beban yang terlihat di wajahnya.
Perlahan dia menyunggingkan senyum penuh arti; sedikit menggambarkan pikiran dan hatinya yang tampak sedang harmonis.
"Aku jatuh hati, Tuhan!" gumam batinnya yang terdalam.
Angin halus menerpa jendela yang membingkai dirinya, menyibakan jilbab maroon yang menjulur panjang menutupi hampir seluruh badannya. Lekuk tubuhnya hampir terukir oleh tiupan alam yang sedikit tak tahu malu itu.Â
Bergegas ia menarik balutan busananya; walaupun tampak tak seorangpun yang memperhatikannya. Spontan, ia pun memperhatikan dadanya; memastikan rasa aman dari penglihatan orang lain.
Tak berselang lama, ia pun kembali asik memperhatikan suasana alam yang tampak cantik membalut setiap sudut halaman Villa mewah yang mewadahinya kini.Â
Pikirannya melayang ke belakang, menjauh dari realitasnya kini. Pertemuannya dengan sahabat lama tempo hari, atau entah beberapa minggu ke belakang, tanpa disadari telah mengubah suasana hatinya yang halus. Â Â
"Sedang apa, Mom? Cantik benar hari ini!"
Suara itu, mengagetkan Raina dari diamnya yang penuh arti. Seolah, dia sedang berlayar di lautan yang tenang tiba-tiba ada ombak besar yang meluluh lantakkan perahunya. Ia pun bergegas meracik ulang hati dan pikirannya, agar perahu kembali berlabuh dalam keteduhan dan ketenangan. Dirapikannya kembali balutan hijab yang menghiasi dirinya, walaupun sungguh sudah terlihat rapi nan anggun.
Perlahan ia membalikkan badannya dengan halus, beriringan dengan tiupan angin mesra yang seakan menggandengnya untuk berbalik; menyambut pria tampan yang sudah bediri di hadapannya kini. Rainapun  menyunggingkan senyum terbaiknya.
"Eh, Mas!?" jawabnya lirih. Ada ketenangan dalam sikapnya, namun entah di dalam hatinya? Racikan sikapnya yang sangat sempurna, membuatnya terlihat 'nikmat' di pandangan pria yang sudah lama mencintainya itu.Â
Waktuku terombang-ambing saat menemukan dirinya
Entah apa yang membuatku sibuk memikirkannya
Dalam gelap
Dalam terang
Malu atau tak tahu malu, rasanyaÂ
Aku selalu ingin bersua dengan dirinya
Sihir parasnya membuatku harus meminta ampun kepada sang Pencipta
Aku luluh, dan luluh
Dan aku pun terjerat, dan mencintainya dalam ikatan yang suci
 Tulis pria itu, kala itu, kala ia mengikat janji setia dalam balutan pernikahan bersama perempuan yang kini sedang bediri anggun dihadapannya.
Raina, tanpa basa basi lagi, mendekatinya, dan memberikan sedikit pelukan mesra kepada suaminya tersebut. Dalam pelukannya, bibir tipisnya mendekati daun telinganya dan berbisik mesra.
"Aku sedang tidak waras, Tuan... Izinkan Aku mencintaimu tanpa Kau ganggu..."
Â
(bersambung)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI