Mohon tunggu...
muhammad rizqulloh
muhammad rizqulloh Mohon Tunggu... mahasiswa s1

otomotif

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

'Tambang vs Alam: konflik kepentingan dalam pembangunan nasional

23 Juni 2025   19:16 Diperbarui: 23 Juni 2025   19:16 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pembangunan nasional seringkali dihadapkan pada dilema antara eksploitasi sumber daya alam dan upaya
pelestarian lingkungan. Industri pertambangan, sebagai salah satu sektor strategis dalam pembangunan
ekonomi Indonesia, memegang peran penting dalam mendatangkan investasi, menciptakan lapangan kerja,
dan meningkatkan pendapatan negara. Namun, di balik potensi ekonominya, industri ini juga membawa
dampak ekologis yang serius, mulai dari kerusakan lingkungan hingga konflik sosial dengan masyarakat
lokal.
Di sinilah peran Public Relations (PR) menjadi sangat vital. Dalam menghadapi konflik antara kepentingan
ekonomi dan pelestarian lingkungan, PR tidak hanya bertugas membangun citra perusahaan, tetapi juga
menciptakan ruang dialog antara berbagai pihak yang berkepentingan. Dengan pendekatan komunikasi dua
arah, PR diharapkan mampu membangun jembatan antara perusahaan tambang, pemerintah, masyarakat
adat, LSM lingkungan, hingga media massa.
Artikel ini akan membahas konflik antara tambang dan pelestarian alam dalam konteks pembangunan
nasional serta menjelaskan bagaimana PR, dengan pendekatan komunikasi dua arah, dapat berperan
sebagai fasilitator dialog yang konstruktif dan solutif.
Tambang sebagai Pilar Pembangunan Ekonomi
Indonesia dikenal sebagai negara kaya sumber daya alam. Sektor pertambangan, baik batu bara, emas,
nikel, maupun tembaga, menjadi tulang punggung perekonomian. Data Kementerian Energi dan Sumber
Daya Mineral (ESDM) menunjukkan bahwa sektor ini menyumbang signifikan terhadap Produk Domestik
Bruto (PDB) nasional dan pendapatan ekspor.
Pemerintah melihat sektor ini sebagai jalan cepat untuk meningkatkan kesejahteraan nasional, terutama di
daerah-daerah yang selama ini kurang berkembang. Investasi tambang diharapkan mendorong
pembangunan infrastruktur, membuka lapangan kerja, dan merangsang pertumbuhan ekonomi regional.
Namun, narasi pembangunan berbasis tambang tidak bisa dilepaskan dari berbagai dampak negatifnya.
Kegiatan tambang kerap menyebabkan deforestasi, pencemaran air dan tanah, degradasi lahan, bahkan
mengancam keanekaragaman hayati dan ekosistem lokal.
Alam yang Terabaikan: Kerusakan dan Perlawanan
Di sisi lain, lingkungan hidup adalah aset tak tergantikan. Hutan, sungai, dan tanah bukan hanya sumber

kehidupan ekologis, tetapi juga memiliki nilai budaya dan spiritual yang tinggi, terutama bagi masyarakat
adat. Ketika perusahaan tambang masuk ke wilayah-wilayah tersebut, tak jarang terjadi konflik kepentingan
yang akut.
Contoh nyata bisa dilihat dari berbagai daerah konflik seperti di Kalimantan, Papua, dan Sulawesi, di mana
masyarakat lokal sering kali menolak kehadiran tambang karena khawatir akan kehilangan tanah ulayat,
sumber air bersih, dan kehidupan yang berkelanjutan. Di sinilah konflik menjadi tak terelakkan.
Sering kali, komunikasi antara perusahaan tambang dan masyarakat lokal berjalan satu arah. Perusahaan
menyampaikan informasi tentang proyek dan manfaatnya, tanpa benar-benar mendengarkan aspirasi,
kekhawatiran, dan hak-hak masyarakat sekitar. Ketidakseimbangan komunikasi ini memperburuk situasi dan
berujung pada penolakan, demonstrasi, atau bahkan kekerasan.
Teori Komunikasi Dua Arah: Solusi Etis dalam Konflik
James E. Grunig, tokoh penting dalam ilmu komunikasi, memperkenalkan konsep Teori Komunikasi Dua
Arah Simetris dalam praktik Public Relations. Dalam model ini, komunikasi tidak bersifat dominatif atau
manipulatif, melainkan bersifat partisipatif dan saling menguntungkan.
Model ini menekankan pentingnya:
1. Mendengarkan aktif terhadap kepentingan publik.
2. Transparansi informasi dalam proses pengambilan keputusan.
3. Negosiasi yang adil dan terbuka, bukan sekadar persuasi.
4. Keterlibatan masyarakat dalam dialog, bukan sebagai objek, tapi sebagai subjek.
Dalam konteks konflik tambang vs alam, pendekatan ini sangat relevan. Perusahaan tambang tidak cukup
hanya menginformasikan proyeknya, tapi harus mengajak masyarakat berdialog sejak awal: dalam
perencanaan, pelaksanaan, hingga pemantauan.
Peran Strategis Public Relations dalam Dialog Sosial
PR memiliki tanggung jawab sosial yang lebih dari sekadar menjaga reputasi perusahaan. Dalam konteks
konflik tambang dan lingkungan, PR berperan sebagai mediator, fasilitator dialog, dan penjaga etika
komunikasi.
Beberapa peran strategis PR dalam membangun dialog sosial berbasis komunikasi dua arah antara lain:
1. Memetakan Stakeholder
2. Membangun Ruang Partisipatif
3. Menerapkan Transparansi dan Akuntabilitas
4. Mengelola Isu dan Krisis
5. Mengedukasi Publik dan Internal

Studi Kasus: Tambang Emas dan Masyarakat Adat
Salah satu contoh menarik datang dari wilayah Sumbawa, di mana sebuah perusahaan tambang emas
multinasional berhasil membangun komunikasi dua arah dengan masyarakat adat sekitar. Perusahaan
tersebut membentuk Komite Dialog Sosial yang terdiri dari perwakilan warga, tokoh adat, aktivis lingkungan,
dan pemerintah daerah.
Forum ini menjadi tempat menyampaikan kritik, usulan, dan negosiasi atas berbagai dampak yang timbul.
Hasilnya, tidak hanya meminimalkan konflik, tapi juga meningkatkan rasa memiliki masyarakat terhadap
proyek tersebut. CSR perusahaan menjadi lebih tepat sasaran, reklamasi pasca tambang dilakukan dengan
keterlibatan masyarakat, dan monitoring lingkungan dilakukan bersama.
Contoh ini menunjukkan bahwa ketika komunikasi dibangun secara setara dan partisipatif, maka konflik bisa
diredam dan solusi berkelanjutan dapat diciptakan.
Tantangan dan Jalan Panjang yang Masih Terbentang
Meski pendekatan komunikasi dua arah menawarkan solusi ideal, realitas di lapangan sering kali masih jauh
dari harapan. Banyak perusahaan tambang yang lebih memilih strategi komunikasi satu arah dengan
pendekatan korporatis dan dominatif. PR kerap dianggap sebagai alat propaganda semata.
Tantangan lain adalah ketimpangan kekuasaan antara perusahaan dan masyarakat lokal, rendahnya literasi
lingkungan, serta minimnya regulasi yang mendukung ruang dialog publik. Bahkan, dalam beberapa kasus,
aktivis lingkungan yang bersuara kritis justru dikriminalisasi.
Namun, dengan meningkatnya kesadaran akan pentingnya komunikasi etis dan transparan, perubahan mulai
tampak. Lembaga-lembaga seperti Komnas HAM, Kementerian LHK, dan organisasi masyarakat sipil
mendorong penerapan prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) dalam proyek tambang. Hal ini
menjadi angin segar bagi perkembangan PR berbasis etika dan keadilan sosial.

Kerusakan hutan, pencemaran air dan udara, degradasi tanah, serta konflik sosial dengan
masyarakat adat adalah konsekuensi nyata dari praktik pertambangan yang tidak berkelanjutan.
Ironisnya, banyak wilayah tambang justru menjadi daerah yang mengalami kemiskinan struktural. Ini
menunjukkan bahwa eksploitasi SDA (sumber daya alam) tidak otomatis berbanding lurus dengan
peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal.
Pembangunan nasional seharusnya bukan hanya mengejar pertumbuhan ekonomi, tetapi juga
menjamin keberlanjutan ekologi dan keadilan sosial. Inilah titik utama konflik: ketika tambang

dipandang sebagai simbol kemajuan ekonomi, sementara masyarakat melihatnya sebagai ancaman
terhadap ruang hidup mereka.Konflik Sosial dan Ketimpangan KomunikasiBanyak konflik antara perusahaan tambang dan warga terjadi karena minimnya komunikasi yang setara. Proses sosialisasi kerap bersifat top-down, di mana suara masyarakat hanya dijadikan formalitas. Partisipasi yang sejati tidak terjadi. Hal ini memperbesar rasa ketidakadilan dan mendorong masyarakat untuk melakukan perlawanan, baik secara hukum maupun aksi massa. Ketimpangan ini memperlihatkan kurangnya peran komunikasi strategis dalam proses perencanaan dan pelaksanaan kegiatan tambang. Padahal, konflik bisa dicegah apabila terjadi dialog sejak awal
yang mengedepankan prinsip keterbukaan, saling mendengar, dan negosiasi yang setara.

Konflik antara tambang dan alam mencerminkan dilema besar dalam pembangunan nasional
Indonesia. Ketika kepentingan ekonomi dan ekologi saling bertabrakan, solusi tidak bisa hanya
mengandalkan pendekatan hukum atau kekuasaan semata. Dibutuhkan pendekatan komunikasi
yang beretika dan berbasis dialog.
Peran public relations, jika dijalankan secara profesional dengan pendekatan komunikasi dua arah,
dapat menjadi jembatan penting dalam menyelesaikan konflik. PR bukan sekadar penjaga reputasi
perusahaan, melainkan agen perubahan sosial yang menjunjung transparansi, keadilan, dan
keberlanjutan.
Pembangunan sejati adalah pembangunan yang mendengarkan semua pihak-bukan hanya yang
bersuara paling keras, tetapi juga yang selama ini dibungkam.

Pertambangan memberikan manfaat besar bagi pembangunan nasional. Selain menghasilkan
pendapatan negara, sektor ini juga menyerap tenaga kerja, mendorong pembangunan infrastruktur,
dan menarik investasi asing. Namun, berbagai studi menunjukkan bahwa daerah-daerah kaya
tambang justru mengalami tingkat kemiskinan yang tinggi, kerusakan lingkungan yang parah, serta
konflik horizontal di tengah masyarakat.
Eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya alam menyebabkan deforestasi, pencemaran air,
kerusakan ekosistem, serta hilangnya ruang hidup masyarakat adat. Dalam banyak kasus,
perusahaan tambang memperoleh izin tanpa keterlibatan masyarakat lokal secara berarti.
Akibatnya, muncul resistensi sosial yang memuncak dalam bentuk demonstrasi, gugatan hukum,
hingga bentrokan fisik.
Pembangunan yang hanya mengejar pertumbuhan ekonomi tanpa mempertimbangkan aspek
keberlanjutan lingkungan dan keadilan sosial berisiko menciptakan ketimpangan struktural. Oleh
karena itu, diperlukan pendekatan komunikasi yang mampu merangkul semua pemangku
kepentingan dan membangun pengertian bersama.
Ketimpangan Komunikasi dalam Konflik Tambang
Salah satu akar persoalan konflik tambang adalah ketimpangan komunikasi antara perusahaan dan
masyarakat. Banyak perusahaan hanya melakukan sosialisasi formalitas tanpa melibatkan warga
dalam proses pengambilan keputusan. Informasi disampaikan secara satu arah, tanpa ruang untuk
mendengar aspirasi, kritik, atau keberatan dari publik.
Dalam situasi seperti ini, kepercayaan masyarakat terhadap perusahaan menjadi rendah. Mereka
merasa dipinggirkan dan tidak dianggap sebagai bagian dari proses pembangunan. Ketimpangan
ini memperbesar potensi konflik sosial dan memperburuk citra perusahaan di mata publik.

Dampak Lingkungan dari Pertambangan
Dampak ekologis pertambangan sangat luas dan seringkali bersifat irreversible. Aktivitas tambang
terbuka (open pit) menyebabkan penggundulan hutan, perubahan topografi, dan pencemaran tanah
serta air. Penggunaan bahan kimia berbahaya seperti merkuri dan sianida dalam proses
penambangan emas, misalnya, mengancam kesehatan manusia dan makhluk hidup lainnya.
Laporan berbagai lembaga lingkungan menunjukkan bahwa banyak sungai tercemar logam berat
akibat limbah tambang yang dibuang sembarangan.
Kerusakan hutan juga berkontribusi terhadap perubahan iklim global. Deforestasi akibat tambang
mengurangi kemampuan bumi menyerap karbon. Belum lagi bencana ekologis seperti banjir dan
longsor yang kerap terjadi di wilayah bekas tambang yang tidak direklamasi dengan benar.
Lebih ironis lagi, banyak daerah pertambangan justru mengalami kemiskinan ekologis: sumber air
bersih sulit, lahan pertanian rusak, dan udara tercemar. Hal ini menunjukkan bahwa keuntungan
ekonomi dari tambang seringkali tidak dirasakan langsung oleh masyarakat terdampak.Konflik Sosial di Kawasan Tambang
Konflik sosial menjadi keniscayaan di kawasan pertambangan. Ketika perusahaan tambang mulai
beroperasi, ruang hidup masyarakat adat atau lokal kerap terdesak. Tanah-tanah ulayat dirampas
atau dibeli dengan harga murah. Mereka yang menolak sering mendapat intimidasi, bahkan
kriminalisasi. Tidak sedikit aktivis lingkungan yang menjadi korban kekerasan akibatmemperjuangkan hak-hak masyarakat.
Contoh nyata konflik ini dapat dilihat dari berbagai daerah di Indonesia, seperti di Pulau Wawonii
(Sulawesi Tenggara), Papua, Kalimantan, hingga Sumatera. Di sana, masyarakat lokal berjuang
mempertahankan wilayah adatnya dari ekspansi perusahaan tambang. Sayangnya, negara kadang
lebih berpihak pada korporasi dengan dalih investasi dan pembangunan.
Konflik seperti ini tidak hanya menciptakan ketegangan horizontal antara masyarakat dan
perusahaan, tapi juga menciptakan jurang kepercayaan antara rakyat dan negara. Keamanan
sering dijadikan alasan untuk menurunkan aparat, padahal substansi persoalan ada pada
ketidakadilan struktural dalam pengambilan keputusan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun