Selain itu, sikap lapang dada juga menjadi salah satu elemen penting dalam mencapai kebahagiaan menurut ajaran Ki Ageng Suryomentaram. Menerima segala keadaan, baik itu dalam suka maupun duka, dengan hati yang ikhlas akan membawa ketenangan dalam batin. Ketika seseorang mampu menerima realitas kehidupan tanpa banyak keluhan atau protes, ia akan lebih mudah menemukan kebahagiaan dalam berbagai kondisi. Sikap ini juga membantu seseorang untuk tidak terlalu terikat pada hasil akhir dan lebih menikmati proses hidup dengan penuh kesadaran.
Lebih dalam lagi, Ki Ageng Suryomentaram menekankan bahwa sumber kebahagiaan sejati bukan berasal dari faktor eksternal, melainkan dari dalam diri sendiri. Kebahagiaan yang datang dari luar, seperti pengakuan, pujian, atau pencapaian materi, bersifat tidak stabil dan mudah hilang. Sebaliknya, kebahagiaan batin yang muncul dari kesadaran diri dan keseimbangan batin cenderung lebih abadi dan konsisten. Inilah yang membedakan antara kebahagiaan sejati dengan sekadar rasa senang yang bersifat sementara. Untuk mencapai keseimbangan batin tersebut, Ki Ageng Suryomentaram menganjurkan penerapan hidup yang cukup, yakni hidup sesuai kebutuhan tanpa berlebihan. Konsep hidup cukup ini sejalan dengan filosofi *nrimo ing pandum*, yang berarti menerima segala sesuatu sebagai bagian dari kehendak Tuhan dan menjalani hidup dengan rasa syukur. Dengan menjalani hidup yang seimbang, seseorang tidak akan mudah terpengaruh oleh perubahan situasi eksternal, karena fondasi kebahagiaannya sudah tertanam kuat dalam batinnya.
Di samping itu, Ki Ageng Suryomentaram juga memperingatkan bahaya terjebak dalam nafsu duniawi yang tiada habisnya. Nafsu duniawi sering kali membuat manusia merasa kurang dan selalu ingin lebih. Semakin keras seseorang mengejar nafsu tersebut, semakin jauh pula jarak antara keinginan dan kepuasan yang ia rasakan. Justru, kebahagiaan sejati dapat diraih ketika seseorang mampu melepaskan diri dari jeratan nafsu duniawi dan mulai menikmati hidup dengan apa adanya. Secara keseluruhan, ajaran Ki Ageng Suryomentaram memberikan pedoman yang jelas untuk menjalani hidup dengan bijaksana. Dengan mengenali dan mengelola aspek batin, hidup seseorang akan menjadi lebih damai dan bermakna. Kebahagiaan sejati bukanlah sebuah tujuan yang harus dicapai dengan ambisi besar, melainkan sebuah kondisi batin yang hadir ketika kita mampu berhenti sejenak, merenung, dan mensyukuri setiap anugerah yang sudah dimiliki.
Bagaimana Prinsip "SA" Menurut Ki Ageng Suryomentaram?
- Sa-Butuhne
Prinsip sa-butuhne atau "sebutuhnya" merupakan sebuah pedoman hidup yang mengajarkan seseorang untuk hidup berdasarkan kebutuhan nyata, bukan sekadar mengikuti keinginan berlebihan yang sering kali menjerumuskan pada sikap konsumtif dan materialistis. Dalam kehidupan sehari-hari, godaan untuk memiliki lebih banyak, baik dalam hal harta, status sosial, maupun pencapaian pribadi, kerap kali datang dari berbagai arah. Media sosial, iklan, dan lingkungan sekitar sering kali membentuk persepsi bahwa kebahagiaan hanya bisa diraih melalui kepemilikan materi yang melimpah atau pencapaian prestasi yang gemilang. Namun, prinsip *sa-butuhne* justru menawarkan pendekatan yang berbeda, yaitu hidup dalam kesederhanaan dan keseimbangan, di mana kebahagiaan tidak ditentukan oleh seberapa banyak yang dimiliki, tetapi oleh seberapa cukup kita merasa dengan apa yang sudah ada.
Melalui pemahaman mendalam mengenai batas kebutuhan, seseorang dapat lebih bijak dalam membuat keputusan, baik dalam aspek finansial, sosial, maupun emosional. Prinsip ini membantu seseorang untuk tidak mudah terbawa arus konsumsi berlebihan atau mengikuti tren tanpa pertimbangan matang. Misalnya, dalam hal finansial, seseorang yang memegang prinsip *sa-butuhne* akan lebih selektif dalam membelanjakan uangnya. Ia akan memprioritaskan kebutuhan pokok dan menghindari pembelian barang-barang yang sebenarnya tidak diperlukan, hanya demi memenuhi dorongan sesaat atau sekadar ingin mengikuti gaya hidup orang lain. Sikap ini tidak hanya menciptakan kestabilan ekonomi pribadi tetapi juga membantu membangun mentalitas yang lebih kuat dalam menghadapi godaan konsumerisme.
Selain dalam hal materi, prinsip ini juga berlaku dalam pengelolaan waktu dan energi. Di tengah kehidupan modern yang serba cepat, banyak orang merasa harus selalu sibuk untuk dianggap produktif. Mereka sering kali terjebak dalam aktivitas yang sebenarnya tidak memberikan nilai tambah bagi hidupnya. Dengan menerapkan prinsip sa-butuhne, seseorang akan lebih mampu memilah mana kegiatan yang benar-benar penting dan mana yang hanya sekadar rutinitas tanpa makna. Misalnya, daripada menghabiskan waktu berjam-jam untuk berselancar di dunia maya tanpa tujuan, seseorang bisa memilih untuk melakukan kegiatan yang lebih bermanfaat, seperti membaca, berolahraga, atau menghabiskan waktu bersama keluarga. Dengan demikian, setiap aspek kehidupan menjadi lebih tertata dan terkendali, menciptakan ritme hidup yang seimbang dan harmonis.
Prinsip sa-butuhne juga mengajarkan pentingnya hidup sederhana tanpa merasa kekurangan. Kesederhanaan di sini bukan berarti hidup dalam keterbatasan, tetapi lebih pada kemampuan untuk merasa cukup dan bersyukur atas apa yang dimiliki. Hidup sederhana membantu seseorang untuk lebih fokus pada kualitas hidup daripada kuantitas kepemilikan. Ia tidak akan terjebak dalam siklus "ingin lebih" yang tidak ada habisnya, melainkan mampu menikmati setiap momen dan merasakan kebahagiaan dari hal-hal kecil dalam hidupnya. Ketika seseorang mampu hidup sederhana, ia akan lebih mudah merasakan ketenangan batin, karena tidak lagi dibebani oleh ambisi atau ekspektasi yang berlebihan.
Efisiensi dalam memanfaatkan sumber daya juga menjadi poin penting dalam prinsip ini. Seseorang yang hidup "sebutuhnya" akan lebih bijak dalam menggunakan apa yang dimilikinya, baik itu uang, waktu, tenaga, maupun kemampuan. Misalnya, dalam konteks pekerjaan, ia akan fokus pada tugas-tugas yang memberikan dampak positif dan tidak membuang-buang energi untuk hal-hal yang tidak produktif. Dalam kehidupan sehari-hari, ia akan berusaha meminimalisir pemborosan, seperti menghindari pembelian barang yang tidak perlu, menghemat penggunaan energi, dan mendaur ulang barang-barang yang masih bisa dimanfaatkan. Sikap ini tidak hanya memberikan manfaat bagi diri sendiri tetapi juga bagi lingkungan dan orang-orang di sekitarnya.