Sementara itu, perpustakaan seringkali dianggap tempat yang "terlalu serius". Ada kesan bahwa hanya mahasiswa kutu buku atau peneliti yang nyaman di sana. Padahal, perpustakaan bisa jadi ruang yang sangat menarik jika dikelola dengan pendekatan yang lebih terbuka dan akrab dengan gaya anak muda sekarang.
Masalahnya bukan karena anak muda tak suka membaca. Tapi kadang ruang bacanya terasa kaku, sunyi, dan tidak fleksibel. Coba bandingkan dengan suasana angkringan: santai, terbuka, tidak menghakimi, dan penuh energi. Mungkin ini saatnya perpustakaan belajar dari angkringan, membuat ruang yang lebih inklusif dan membumi.
Bayangkan jika perpustakaan menyediakan ruang diskusi terbuka, dengan kopi murah dan kursi lesehan. Mungkin saja, tempat itu bisa seramai angkringan. Bisa jadi perpustakaan dengan gaya seperti ini sudah ada, namun saya masih belum menemukannya.
Ilmu dan Aksi: Harus Sejalan
Kita tidak sedang memilih antara membaca buku atau ngobrol di angkringan. Dua-duanya penting. Buku memberi landasan pengetahuan, sedangkan diskusi melatih berpikir kritis dan keberanian berpendapat. Sayangnya, banyak yang hanya memilih salah satu. Ada yang pintar secara teori, tapi tak pernah turun ke masyarakat. Ada pula yang vokal di tongkrongan, tapi minim bacaan dan asal bicara.
Idealnya, anak muda membaca buku dan bicara. Karena bangsa ini tidak butuh kutu buku yang diam di menara gading, juga tidak cukup dengan tukang debat yang miskin dasar pengetahuan. Kita butuh kombinasi keduanya, pemikir sekaligus penggerak.
Belajar dari Angkringan
Angkringan mengajarkan bahwa ruang sosial bisa sederhana, tapi bermakna. Bahwa diskusi bisa hidup tanpa mic dan podium. Bahwa kepedulian bisa lahir dari percakapan santai sambil makan endog gemak dan kopi panas.
Mungkin, tugas kita hari ini bukan membandingkan mana yang lebih baik, perpustakaan atau angkringan. Tapi bagaimana menjembatani keduanya. Membuat ruang belajar yang lebih hidup, dan membuat ruang ngobrol yang lebih bermakna.
Karena pada akhirnya, bangsa ini tidak akan maju hanya dengan membaca, tapi juga dengan bicara, bergerak, dan terlibat.
Anak muda bukan cuma agen perubahan, tapi juga cermin ke mana arah bangsa ini akan melangkah. Apakah kita hanya akan jadi generasi yang pamer opini tanpa dasar, atau jadi generasi yang membaca, merenung, dan bergerak?