Di sudut-sudut kota Jogja, angkringan selalu ramai. Malam hari, kursi-kursi kayu dipenuhi anak muda. Ada yang sedang tertawa lepas, ada yang berbicara serius, dan tak jarang pula yang berdiskusi soal hal-hal besar seperti politik, ekonomi, bahkan masa depan negeri ini. Di sisi lain, perpustakaan, yang katanya rumah ilmu, justru terlihat sepi. Kadang hanya satu dua orang yang datang, lebih banyak ruang kosong daripada pembacanya.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan sederhana, apakah anak muda sekarang lebih suka ngobrol daripada membaca? Apakah kita sedang bergeser dari budaya membaca ke budaya berbicara?
Namun, sebelum buru-buru menyalahkan, mari kita lihat dari sudut yang lebih luas.
Angkringan: Tempat Rakyat Bicara
Angkringan di Jogja bukan sekadar tempat makan nasi kucing atau menyeruput kopi jos. Lebih dari itu, angkringan adalah ruang sosial. Tempat orang dari berbagai latar belakang bisa duduk sejajar. Tak peduli kamu mahasiswa, tukang ojek, seniman, atau dosen, semua punya tempat yang sama di bawah lampu teplok dan meja kayu panjang.
Dan di sana, ide-ide bisa lahir. Obrolan receh bisa berlanjut ke soal serius mulai harga bahan pokok yang naik, kampus yang makin mahal, atau siapa yang pantas jadi pemimpin negeri ini. Diskusi seperti ini mungkin terdengar remeh, tapi di situlah benih kepedulian tumbuh.
Bung Karno pernah bilang:
"Aku lebih senang pemuda yang merokok dan minum kopi sambil diskusi tentang bangsa ini, daripada pemuda kutu buku yang hanya memikirkan diri sendiri."
Kalimat itu sering disalahartikan. Seolah-olah Bung Karno anti dengan membaca buku. Padahal, yang beliau maksud adalah soal keberpihakan. Bahwa ilmu, jika hanya untuk diri sendiri, tidak lebih baik dari diskusi di angkringan yang memikirkan bangsa.
Perpustakaan: Ruang Ilmu yang Terlupakan