Di tengah derasnya arus digitalisasi, keberadaan toko buku fisik kerap dianggap menurun pamornya. Namun, beberapa ruang justru menjawab tantangan itu dengan menciptakan pengalaman yang berbeda. Toko buku bukan lagi sekadar etalase penjualan, tetapi menjelma menjadi ruang perjumpaan, percakapan, dan inspirasi.
Salah satu contoh menarik datang dari Semarang, yaitu Toko Books. Berdiri sejak 2012, toko ini hadir di sebuah bangunan klasik di Jalan Dorang, Semarang Utara. Bukan hanya koleksi puluhan ribu buku impor yang menjadi daya tarik, melainkan juga suasana khas yang menyatukan literasi dengan kuliner dan kopi.
Toko Books bukan sekadar menawarkan meja dan kursi ala kafe. Atmosfernya dirancang homey, penuh nuansa damai, seakan mengajak siapa pun untuk berlama-lama. Dinding yang dipenuhi rak buku bersanding dengan aroma kopi, membentuk pengalaman multisensori yang sulit dilupakan.
Kategori buku yang tersedia pun luas, dari bidang ekonomi, general science, craft, pendidikan, psikologi, politik, hukum, hingga sastra. Seorang pengunjung bisa menemukan referensi serius untuk riset akademis, tetapi juga pilihan bacaan ringan untuk jeda di tengah hiruk-pikuk aktivitas sehari-hari.
Namun, daya tarik utama Toko Books bukan hanya pada koleksi bukunya, melainkan pada cara ia membuka ruang interaksi. Komunitas mahasiswa, pegiat literasi, hingga dosen kerap menjadikan tempat ini sebagai arena diskusi. Suasana yang akrab membuat percakapan berlangsung cair, seakan melanjutkan tradisi warung kopi sekaligus perpustakaan rakyat.
Literasi bukan sekadar membaca buku, tapi juga menyeduh percakapan, meneguk ide, dan menghirup inspirasi. Toko Books Semarang menghadirkan itu semua, dari buku, kopi, dan ruang komunitas yang menghidupkan dialog.Â
Kombinasi buku dan kopi menjadikan interaksi lebih organik. Secangkir kopi panas menemani pembahasan teori politik global, sementara kudapan ringan menghadirkan kehangatan dalam diskusi seni dan budaya. Literasi di sini bukan aktivitas individual semata, melainkan proses kolektif yang hidup.
Dalam konteks literasi digital yang kerap dipandang dingin dan serba cepat, ruang fisik seperti Toko Books menghadirkan keseimbangan. Ia mengingatkan bahwa membaca tidak hanya tentang memperoleh informasi, tetapi juga tentang membangun jejaring sosial, melatih empati, dan menghidupkan dialog.
Model semacam ini memberi inspirasi baru bagi pengembangan komunitas literasi. Sebuah toko buku bisa bertransformasi menjadi "third place", ruang ketiga setelah rumah dan tempat kerja/kampus, di mana orang menemukan identitas, relasi, dan bahkan ide-ide segar untuk masa depan.
Bagi mahasiswa, keberadaan Toko Books menjadi semacam laboratorium sosial. Mereka belajar bahwa ilmu tidak hanya bersumber dari buku teks, tetapi juga dari interaksi dengan sesama pembaca. Diskusi yang lahir dari spontanitas sering kali lebih membekas dibandingkan seminar formal di aula kampus.
Lebih jauh, Toko Books juga memberi pelajaran tentang keberlanjutan bisnis literasi. Dengan menggabungkan buku, kuliner, dan komunitas, toko ini membuktikan bahwa pasar literasi tidak mati, hanya perlu diformat ulang agar selaras dengan kebutuhan generasi saat ini.
Di Toko Books, buku tak lagi diam di rak. Ia bicara melalui diskusi, menyapa lewat secangkir kopi, dan menjelma menjadi jembatan ide di antara generasi. Literasi menemukan wajah humanisnya di ruang yang damai ini.Â
Semarang yang dikenal sebagai kota pelabuhan dengan sejarah multikultural, kini menemukan refleksinya dalam ruang kecil di Jalan Dorang. Toko Books menjadi tempat bertemunya gagasan dari berbagai disiplin ilmu, bercampur dengan dialektika antarbudaya yang hidup di kalangan pengunjungnya.
Tentu, inisiatif seperti ini layak diperbanyak. Bayangkan jika di berbagai kota hadir toko-toko buku dengan model serupa, bukan sekadar menjual produk, melainkan merawat komunitas. Bukan hanya transaksi ekonomi, melainkan transaksi gagasan. Bukan sekadar tempat singgah, melainkan ruang untuk bertumbuh.
Pada akhirnya, Toko Books membuktikan bahwa toko buku bisa lebih dari sekadar bisnis. Ia adalah ruang inspirasi, ruang percakapan, ruang pembentukan komunitas. Dengan buku, kopi, dan suasana hangat, ia mengajarkan satu hal: literasi bukan hanya aktivitas membaca, melainkan seni merayakan kehidupan bersama.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI