Mohon tunggu...
Muh Khamdan
Muh Khamdan Mohon Tunggu... Researcher / Analis Kebijakan Publik

Berbagi wawasan di ruang akademik dan publik demi dunia yang lebih damai dan santai. #PeaceStudies #ConflictResolution

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Warung Buku Jalanan: Ketika Hobi Membaca Jadi Jalan Cuan Literasi

1 Juni 2025   05:54 Diperbarui: 1 Juni 2025   08:13 2169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lapak buku bekas sebagai "surga rahasia" literasi masyarakat (Sumber: alinear.id)

Banyak orang bilang, membaca adalah jendela dunia. Tapi bagi saya, membaca adalah jendela rezeki. Dari kecil saya punya hobi yang sama membara dengan api unggun di musim hujan, yaitu membaca dan menulis. Tapi siapa sangka, hobi itu tidak hanya mengisi pikiran, tapi juga bisa mengisi dompet. Dari menulis di media surat kabar hingga menjual buku bekas murah, saya membiayai kuliah sendiri dan kini, bahkan membuka "warung literasi" kecil-kecilan yang menyasar anak-anak muda.

Segalanya bermula dari emperan stadion. Di sekitar Stadion Diponegoro, Semarang, saya menjelajah tumpukan buku lawas yang dijual murah di Kelurahan Karangkidul, Semarang Tengah. Di sanalah saya menemukan "tambang emas" tak kasat mata berupa buku-buku tua yang dianggap tak berguna oleh sebagian orang, namun penuh makna bagi mereka yang tahu nilainya.

Saya mulai dari satu kardus buku, dijual keliling kampus, warung kopi, dan taman kota. Pelan tapi pasti, keuntungan kecil mulai saya kumpulkan. Setiap lembar buku yang berpindah tangan bukan hanya membawa nilai ekonomis, tapi juga menyebarkan bibit literasi. Dari keuntungan itulah, semester demi semester kuliah saya biayai sendiri, tanpa bergantung pada siapa pun.

Lokasi strategis lainnya adalah Taman Sriwedari, Solo. Di sepanjang Jalan Kebangkitan Nasional, saya biasa menelusur koleksi buku lawas pada sejumlah lapak buku setiap akhir pekan. Banyak pengunjung taman yang datang sekadar berjalan-jalan, akhirnya pulang membawa buku bekas, bahkan komik seken yang langsung dibaca di tempat. Dari sini saya belajar satu hal, buku bukan hanya barang dagangan, tapi juga pengalaman bersama.

Di Jogjakarta, surganya para pemburu literasi murah adalah Shopping Center. Letaknya strategis, hanya sepelemparan batu dari titik Nol Kilometer, di antara Taman Pintar dan Taman Budaya Yogyakarta. Tempat ini bagaikan gudang misi rahasia bagi agen literasi seperti saya, penuh buku langka, majalah lawas, dan komik vintage yang siap diselamatkan dari debu dan dilahirkan kembali ke pembaca baru.

Dari tumpukan buku bekas yang berdebu, saya menemukan cahaya masa depan. Setiap buku yang terjual bukan sekadar rupiah, tapi benih literasi yang tumbuh di tangan pembaca. Inilah bukti bahwa mimpi bisa dibiayai oleh lembaran kisah yang hampir terlupakan.

Dalam semangat yang sama dengan film Mission: Impossible, saya menganggap diri saya sebagai Ethan Hunt versi buku bekas. Misi saya adalah meningkatkan minat baca masyarakat dengan menyebar buku murah dan menyenangkan. Setiap lapak adalah medan operasi, setiap pembeli adalah target perubahan, dan setiap buku adalah senjata transformasi.

Hal yang membuat perjalanan ini menarik adalah aspek penyewaan buku komik. Saya sadar bahwa tidak semua orang sanggup membeli buku, apalagi remaja dan anak-anak dari keluarga pas-pasan. Maka saya menyewakan komik dengan harga seribu sampai dua ribu rupiah per hari. Modal balik, literasi naik. Anak-anak mulai mengenal Doraemon, Dragon Ball, hingga kisah-kisah pahlawan lokal dalam format bergambar.

Saya tidak sendirian. Setiap kali membuka lapak, selalu ada obrolan antarpencinta buku. Ada mahasiswa, ibu rumah tangga, pensiunan guru, bahkan tukang parkir yang jadi pelanggan setia. Mereka tidak hanya membeli, tapi juga menyumbangkan buku lama untuk diedarkan kembali. Komunitas kecil ini lama-lama menjadi semacam "jaringan rahasia" dalam operasi penyebaran literasi.

Dari pengalaman ini, saya sadar bahwa literasi bukan soal gedung megah atau program pemerintah yang bombastis. Literasi tumbuh dari kebiasaan kecil yang terus dilakukan, yaitu membaca, berbagi, dan menyambung cerita. Di bawah pohon rindang taman kota atau di sela deru kendaraan jalan raya, buku-buku bekas tetap hidup dan menghidupi.

Saya pernah menemukan buku pelajaran Fisika tahun 1985 yang akhirnya dibeli oleh seorang guru tua untuk dijadikan bahan mengajar. Ada juga buku resep kuno yang diburu pemilik warung makan tradisional. Nilai dari buku bekas bukan hanya isi teksnya, tapi juga jejak waktu dan ingatan yang dikandungnya. Begitu juga ibu-ibu yang sengaja mencari resep-resep makanan khas Jawa untuk nostalgia memasak hidangan warisan leluhurnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun