Mohon tunggu...
Muh Khamdan
Muh Khamdan Mohon Tunggu... Researcher / Analis Kebijakan Publik

Berbagi wawasan di ruang akademik dan publik demi dunia yang lebih damai dan santai. #PeaceStudies #ConflictResolution

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Bisingnya Dunia Modern, Momen Keluarga Jadi Investasi Resiliensi Terbesar

7 September 2025   21:11 Diperbarui: 7 September 2025   22:31 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi--Keramaian. (Freepik)

Kehidupan modern berjalan seperti mesin yang tak pernah berhenti. Dunia seolah selalu berisik, penuh agenda, tinggi target, dan banyak ekspektasi. Di balik kesibukan itu, momen sederhana bersama keluarga seringkali terabaikan. Ironisnya, justru momen-momen kecil itulah yang bisa menjadi one in a million moment, tak ternilai dan tak tergantikan oleh harta sebesar apapun.

Kisah terbaru dari Giorgio Armani, maestro fashion dunia, menegaskan kenyataan tersebut. Armani wafat pada usia 91 tahun, meninggalkan kerajaan bisnis dengan nilai lebih dari 200 triliun rupiah. Namun, dalam wawancara terakhirnya dengan The Financial Times pada 29 Agustus 2025, ia mengungkapkan penyesalan terbesar, yaitu terlalu sibuk bekerja hingga jarang punya waktu untuk keluarga dan sahabat.

Refleksi ini menyentuh ranah psikologi industri sekaligus pengembangan kepribadian. Kita seringkali mengukur kesuksesan lewat indikator finansial, posisi, atau pengaruh. Tetapi, di saat-saat menjelang akhir, banyak tokoh besar justru menyesali waktu yang hilang, bukan kekayaan yang kurang. Armani, dengan semua kejayaannya, adalah cermin bahwa kesibukan dapat mencuri ruang keintiman manusia.

Dalam teori psikologi positif, kebahagiaan jangka panjang lebih banyak ditentukan oleh kualitas hubungan sosial dibanding pencapaian materi. Kehadiran keluarga, interaksi tulus, dan dukungan emosional membentuk fondasi resiliensi manusia. Tanpa itu, kejayaan dunia bisa terasa hampa. Armani, meskipun dielu-elukan, merasakan kekosongan tersebut.

Kebahagiaan sejati tidak lahir dari angka di rekening atau luasnya kerajaan bisnis. Ia tumbuh dari momen kecil bersama keluarga, saat kita hadir, mendengarkan, dan berbagi kasih. Itulah resiliensi sejati yang membuat jiwa bertahan dalam bisingnya dunia. 

Ilustrasi dunia modern yang bising (Sumber: cnbcindonesia.com)
Ilustrasi dunia modern yang bising (Sumber: cnbcindonesia.com)

Armani mengelola perusahaan dengan cakupan luar biasa, dari lini busana Giorgio Armani, Emporio Armani, haute couture Armani Priv, interior, restoran, hingga wewangian. Dua tahun terakhir saja, perusahaannya membukukan pendapatan lebih dari US$ 2,6 miliar. Namun, keberlimpahan materi itu tak mampu menggantikan one in a million moment yang hilang bersama keluarga.

Psikologi industri menjelaskan bahwa budaya kerja modern sering mendorong individu terjebak dalam workaholism, kecanduan bekerja. Orang merasa identitasnya hanya valid jika terus produktif. Tetapi, kerja tanpa jeda mereduksi kehidupan menjadi sekadar tugas. Armani adalah bukti ekstrem dari fenomena ini.

Namun, ada sisi reflektif yang bisa kita pelajari. Resiliensi psikologis di era dunia bising bukan hanya soal kemampuan menghadapi tekanan, tetapi juga kemampuan menyeimbangkan prioritas. Momen kecil seperti makan bersama keluarga, bercanda dengan anak, mendengar cerita pasangan, adalah investasi resiliensi yang memperkuat daya tahan mental di tengah hiruk pikuk.

Resiliensi bukanlah sekadar "tahan banting". Resiliensi adalah seni merawat diri dalam dimensi emosional, spiritual, dan sosial. Armani mungkin tangguh menghadapi tekanan industri fashion, tetapi kehilangan dimensi resiliensi yang dibangun melalui relasi personal.

Penyesalan Armani mengingatkan kita pada konsep life review dalam psikologi perkembangan. Di tahap akhir kehidupan, manusia cenderung merefleksikan apa yang sudah dilakukan. Jika keseimbangan antara kerja dan kehidupan pribadi timpang, rasa penyesalan bisa lebih mendominasi daripada rasa syukur.

Fenomena ini relevan bagi banyak orang yang hidup dalam budaya serba cepat. Generasi muda khususnya, dengan gaya hidup digital, seringkali terjebak dalam tuntutan untuk selalu produktif, selalu terlihat sibuk, dan selalu terkoneksi. Namun, produktivitas tanpa keintiman emosional hanya akan menciptakan kekosongan.

Momen bersama keluarga sejatinya menjadi jangkar psikologis. Ia memberi kita rasa memiliki, rasa diterima, dan rasa dicintai tanpa syarat. Inilah yang dalam literatur psikologi disebut sebagai secure attachment. Bahkan ketika dunia luar penuh ketidakpastian, keluarga bisa menjadi benteng resiliensi.

Dalam bisingnya dunia global, kita perlu secara sadar menciptakan ruang hening. Ruang ini bukan hanya jeda dari pekerjaan, tetapi juga ruang untuk hadir secara penuh bersama orang terkasih. Hadir dengan mendengarkan, menyentuh, dan berbagi pengalaman adalah bentuk mindfulness relationship yang semakin langka.

Kesuksesan bisa membuat nama kita dikenang, tetapi cinta keluarga membuat hidup kita berarti. Giorgio Armani mengingatkan, one in a million moment bukanlah koleksi barang mewah, melainkan kehangatan yang tak pernah tergantikan oleh harta sebesar apapun. 

Kehidupan Armani adalah pelajaran bahwa kesuksesan tanpa keseimbangan bisa berujung pada penyesalan. Namun, ia juga memberi kita kesempatan untuk belajar tanpa harus mengulang kesalahannya. Kita bisa memilih, mulai hari ini, untuk memaknai ulang arti keberhasilan dengan memasukkan momen keluarga sebagai inti.

Dalam dunia yang sibuk, resiliensi bisa tumbuh bukan dari jam kerja lebih panjang, melainkan dari momen kecil yang memperkuat jiwa. Satu jam bermain dengan anak, setengah jam menemani orang tua, atau sekadar lima belas menit bercengkerama dengan pasangan bisa menjadi one in a million moment yang lebih berharga daripada bonus tahunan.

Akhirnya, momen bersama keluarga bukan hanya nostalgia, melainkan strategi psikologis untuk bertahan dalam dunia yang bising. Giorgio Armani telah mengingatkan kita dengan penyesalannya. Kini pertanyaannya, apakah kita mau belajar dari kisahnya, atau menunggu hingga terlambat menyadari bahwa kehangatan keluarga adalah harta paling abadi?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun