Mohon tunggu...
Muh Khamdan
Muh Khamdan Mohon Tunggu... Researcher / Analis Kebijakan Publik

Berbagi wawasan di ruang akademik dan publik demi dunia yang lebih damai dan santai. #PeaceStudies #ConflictResolution

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Badan Otorita Pantura: Jalan Baru Ekonomi Biru dan Benteng Maritim Indonesia

25 Agustus 2025   19:20 Diperbarui: 25 Agustus 2025   19:20 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pelantikan Kepala Badan Otorita Pantura, Didit Herdiawan, di Istana Negara Jakarta (Sumber: Sekretariat Presiden)

Senin, 25 Agustus, halaman Istana Negara Jakarta tampak lebih khidmat dari biasanya. Presiden Prabowo Subianto melantik Didit Herdiawan, Wakil Menteri Kelautan dan Perikanan, sebagai Kepala Badan Otorita Pengelola Pantai Utara. Seremoni yang tampak singkat itu sebenarnya menyimpan pesan politik dan strategi besar.

Didit, purnawirawan Laksamana Muda Angkatan Laut asal Bulukumba, Sulawesi Selatan, dipercaya memimpin lembaga baru yang dibentuk melalui Keputusan Presiden Nomor 76/P/2025. Tugasnya tidak sederhana, yaitu menyiapkan dan mengeksekusi pembangunan Giant Sea Wall, tanggul laut raksasa yang sudah bertahun-tahun hanya menjadi wacana.

Pantai Utara Jawa yang membentang dari Banten hingga Jawa Timur, sudah lama berstatus darurat. Penurunan muka tanah mencapai 10-20 sentimeter per tahun di beberapa titik, sementara banjir rob kian rutin menggenangi kawasan permukiman dan kawasan industri. Di Semarang, Demak, hingga utara Jakarta, rob bukan lagi ancaman musiman, melainkan tamu tetap yang datang tanpa undangan.

Karena itu, keberadaan Badan Otorita bukan sekadar birokrasi baru. Lembaga ini adalah jawaban atas kegagalan tata kelola pesisir selama puluhan tahun. Namun, seperti lazimnya proyek raksasa, Giant Sea Wall bukan hanya urusan teknis. Ia adalah panggung besar di mana kepentingan bisnis nasional dan strategi pertahanan negara saling bersilang.

Pantai Utara Jawa bukan hanya berhadapan dengan rob, tetapi juga menjadi cermin arah bangsa. Giant Sea Wall bisa menjadi simbol kedaulatan yang menyelamatkan rakyat, menggerakkan bisnis nasional, sekaligus menjaga laut sebagai benteng pertahanan maritim Indonesia. 

Dari perspektif pasar, tanggul laut bisa menjadi lokomotif ekonomi biru. Kawasan Pantura, dengan kepadatan industri dan logistiknya, akan mendapat ruang hidup baru. Tanggul yang membentang puluhan kilometer bisa berubah menjadi sabuk ekonomi, yang mengintegrasikan adanya pelabuhan terpadu, kawasan industri perikanan modern, hingga kota tepi laut yang didesain futuristik. Semua itu berarti peluang investasi bernilai triliunan rupiah.

Bagi pengusaha logistik, Giant Sea Wall adalah mimpi lama. Jalur Pantura selama ini menjadi nadi distribusi barang, tapi juga titik rawan macet dan banjir. Dengan tanggul laut, ada peluang integrasi jalur darat dan laut yang lebih efisien. Pemerintah bisa membangun dry port, sea toll, dan gudang logistik internasional yang langsung terkoneksi dengan kawasan industri.

Namun, di balik narasi bisnis, terselip dimensi pertahanan. Didit Herdiawan, dengan latar belakang Angkatan Laut, paham bahwa Pantura bukan hanya jalur niaga, melainkan garis depan pertahanan maritim. Giant Sea Wall dapat difungsikan sebagai benteng baru, hal yang mejadi penopang pangkalan AL, radar maritim, hingga sistem pengawasan digital terhadap aktivitas kapal di Laut Jawa.

Bukan rahasia lagi, Laut Jawa adalah jalur sibuk yang menghubungkan perairan barat dan timur Indonesia. Di era kompetisi Indo-Pasifik, siapa yang menguasai jalur ini akan memegang kunci geopolitik regional. Jika Giant Sea Wall dikelola tepat, Indonesia bukan hanya melindungi pesisir dari air laut, melainkan juga memagari kedaulatannya dari ancaman luar.

Masalahnya, membangun tembok laut raksasa tidak murah. Estimasi biaya bisa menembus ratusan triliun rupiah. Pemerintah tentu berharap pada investor, baik domestik maupun asing. Tapi di sinilah jebakan mengintai. Tanpa tata kelola transparan, proyek ini bisa menjelma ladang rente, korupsi, dan permainan elit politik.

Dampak sosial juga tak bisa diabaikan. Jutaan warga pesisir Pantura menggantungkan hidup pada laut, baik nelayan, petambak, buruh pelabuhan. Pembangunan tanggul bisa menggeser mata pencaharian mereka, bahkan menyingkirkan permukiman lama. Apabila masyarakat hanya dijadikan penonton, proyek mercusuar ini berisiko melahirkan ketimpangan baru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun