Minggu Siang, 15 Juni 2025, langit Sayung cerah terik, tapi semangat ribuan warga Nahdlatul Ulama (NU) dari 14 kecamatan di Demak tidak berhenti. Mereka melangkah kaki menuju Jalan Pantura yang tergenang banjir rob. Tidak sekadar aksi simbolik, ini adalah ikhtiar spiritual dan sosial bertajuk istighosah kebangsaan. Langkah protes sekaligus seruan keprihatinan kepada pemerintah agar tidak lagi membiarkan Sayung perlahan tenggelam dalam genangan rob yang tak kunjung surut.
Rob Sayung bukan bencana baru. Sejak 2001, warga hidup dalam ketidakpastian. Genangan air asin, yang dahulu muncul sesekali, kini menjadi pemandangan harian. Tanah pertanian berubah menjadi kolam, rumah-rumah ditinggalkan, dan harapan mulai terkikis. Bencana ini bukan lagi urusan lokal. Ini darurat nasional yang telah lama diabaikan.
Aksi ribuan Nahdliyin hari itu menyuarakan solidaritas dan keputusasaan. Bukan hanya karena jalan Pantura ditutup sementara, tapi karena suara rakyat sudah lama tidak didengar. Presiden Prabowo Subianto diseru untuk tidak sekadar hadir lewat janji, melainkan mengambil tindakan konkret dan cepat, baik dari normalisasi sungai hingga percepatan pembangunan tanggul laut.
Ketika istighosah dilantunkan di tengah rob yang merendam aspal Pantura, yang terdengar bukan hanya doa. Itu adalah jeritan lingkungan, ratapan manusia, dan suara masa depan. Sayung tidak butuh simpati belaka. Ia butuh aksi nyata dan status darurat nasional, agar penanganannya melampaui sekat-sekat administrasi biasa.
Ketika genangan rob menenggelamkan tanah, warga Nahdliyin menegakkan nurani. Mereka tidak hanya berjalan di atas air, tapi juga mengirim pesan kuat bahwa bencana bukan untuk didiamkan, melainkan disikapi. Negara harus hadir, bukan sekadar berjanji.Â
Selama dua dekade lebih, Sayung dibiarkan menjadi contoh klasik kegagalan manajemen bencana iklim di Indonesia. Pemerintah pusat dan daerah seperti bermain pingpong tanggung jawab, sementara air terus naik, daratan terus hilang, dan rakyat terus menunggu. Rencana Giant Sea Wall masih wacana, proyek tol Kaligawe--Demak belum rampung, dan strategi adaptasi lokal tak memadai.
Padahal, Indonesia telah memiliki berbagai instrumen kebijakan perubahan iklim, mulai dari Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim (RAN-API) hingga peraturan soal penanggulangan bencana. Tetapi implementasinya tumpul ketika berhadapan dengan realitas seperti Sayung. Tidak ada peta jalan adaptasi pesisir yang serius, apalagi pemberdayaan masyarakat untuk beradaptasi dan bertahan.
Jika dilihat dari perspektif ekologi dan hak asasi manusia, rob Sayung telah merampas hak dasar warga, meliputi air bersih, tempat tinggal, pendidikan, dan pekerjaan. Anak-anak tak bisa sekolah, warga sakit karena air tercemar, dan nelayan tidak lagi bisa melaut karena bibir pantai menghilang. Di mana peran negara ketika bencana diam-diam melumpuhkan kehidupan?
Momentum aksi ribuan Nahdliyin ini adalah panggilan moral dan kebangsaan. NU sebagai kekuatan sosial keagamaan terbesar menunjukkan bahwa bencana tidak hanya urusan teknis, tetapi juga persoalan kemanusiaan. Dalam tradisi Islam Nusantara, menjaga bumi adalah bagian dari ibadah. Dan saat ini, Sayung sedang berteriak minta diselamatkan.
Sangat disayangkan jika pemerintah masih melihat rob hanya sebagai "genangan pasang" semata. Faktanya, lebih dari 1.000 hektar wilayah Sayung sudah tenggelam permanen. Rob menggerus pantai dengan kecepatan 10 hingga 20 meter per tahun. Tanpa intervensi besar, dalam satu dekade ke depan, sebagian Demak akan hilang dari peta.
Bagi masyarakat pesisir seperti Sayung, pembangunan berkelanjutan bukan lagi tentang kemewahan infrastruktur, tapi soal bertahan hidup. Tanpa tanggul laut, tanpa relokasi yang manusiawi, dan tanpa adaptasi berbasis komunitas, mereka akan terus menjadi korban dalam siklus bencana yang tak kunjung selesai.