Setiap dinding laut adalah pilihan sejarah. Apakah ia akan berdiri sebagai tembok mercusuar yang rapuh, atau menjelma sabuk ekonomi biru yang tangguh? Masa depan Pantura ditentukan pada integritas, visi, dan keberanian memadukan bisnis, ekologi, dan pertahanan negara.Â
Isu lingkungan tak kalah genting. Pengalaman global menunjukkan pembangunan tanggul laut kerap mengorbankan ekosistem pesisir. Padahal, mangrove, lamun, dan terumbu karang adalah benteng alami yang lebih murah dan berkelanjutan. Otorita Pantura harus mampu menyeimbangkan rekayasa teknologi dengan konservasi ekologi.
Selain itu, koordinasi lintas provinsi menjadi pekerjaan rumah besar. Lima provinsi terdampak punya kepentingan berbeda. Tanpa orkestra kepemimpinan yang kuat, proyek ini bisa berjalan parsial. Jakarta mungkin aman, sementara Semarang dan Demak tetap terendam. Badan Otorita harus memastikan visi integratif, bukan sekadar tambal sulam.
Pelantikan Didit Herdiawan memberi harapan sekaligus pertanyaan. Dengan reputasi militer dan pengalaman birokrasi, ia punya modal memimpin. Tapi modal saja tidak cukup. Tantangan utamanya adalah menjadikan Giant Sea Wall bukan sekadar proyek monumental, melainkan instrumen nyata yang menggerakkan ekonomi nasional dan memperkuat pertahanan maritim.
Pantura sedang menunggu masa depan barunya. Jika berhasil, ia bisa menjadi ikon abad ke-21 sebagai kawasan pesisir yang tangguh terhadap perubahan iklim, sekaligus simpul ekonomi biru yang menghidupi jutaan orang. Namun jika gagal, Giant Sea Wall hanya akan tercatat sebagai dinding mahal yang rapuh oleh kepentingan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI