Kita tidak bisa melawan simbol budaya pop dengan pendekatan koersif. Hal yang lebih dibutuhkan adalah dialog, memahami alasan mengapa simbol seperti Jolly Roger bisa begitu populer. Alasan apa yang sebenarnya sedang disuarakan oleh masyarakat sekaligus mengibarkannya. Reaksi negara yang represif hanya akan memperkuat narasi bahwa negara anti kritik dan abai terhadap suara rakyat.
Fenomena ini sebagai momen emas untuk mereformulasi relasi antara negara, warga negara, dan simbol-simbol yang mengikatnya. Nasionalisme tidak seharusnya eksklusif dan kaku. Ia harus lentur, terbuka, dan adaptif terhadap cara-cara baru dalam menyuarakan cinta tanah air, termasuk melalui budaya pop.
Bendera Luffy bukan ancaman, tapi pesan. Pesan bahwa rakyat ingin kebebasan sejati, bukan sekadar seremonial. Budaya pop telah menjadi bahasa baru politik, yaitu langsung, emosional, dan tak bisa diabaikan oleh kekuasaan yang tuli.Â
Apakah pengibaran bendera One Piece menjelang 17 Agustus adalah bentuk pengkhianatan? Saya kira tidak. Ini adalah seruan bahwa banyak di antara kita belum merasakan kemerdekaan yang sejati. Seruan itu mungkin datang dalam bentuk bendera hitam bertengkorak, tapi semangatnya tetap merah putih, dalam tafsir yang lebih jujur dan egaliter.
Jika negara ingin merayakan kemerdekaan dengan sungguh-sungguh, maka ia perlu lebih dulu mendengarkan pesan yang dikirim melalui bendera One Piece. Suara kekecewaan, harapan, dan keinginan akan dunia yang lebih adil. Sebab sejatinya, seperti kata Luffy, "Aku tidak ingin menaklukkan lautan. Aku hanya ingin kebebasan untuk berlayar di lautan itu."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI