Pengibaran bendera bajak laut dari serial One Piece, Jolly Roger, oleh sejumlah sopir truk dan warga menjelang Hari Kemerdekaan ke-80, memantik perdebatan tajam di ruang publik. Bendera yang identik dengan tokoh fiksi Monkey D. Luffy ini menjelma dari simbol hiburan menjadi penanda ekspresi sosial-politik yang memantik kegelisahan sebagian kalangan. Di tengah gegap gempita kemerdekaan, hadir narasi tandingan dalam bentuk kain hitam bertengkorak yang berkibar di jalanan.
Fenomena ini bukan sekadar tren lucu-lucuan atau aksi FOMO. Ia adalah refleksi dari keputusasaan generasi muda terhadap sistem yang dirasa tak berpihak. Ketika simbol negara dirasa kehilangan daya resonansi, publik beralih pada idiom populer yang mampu mewakili aspirasi dan kritik, walau dengan cara yang subversif.
Jolly Roger, dalam semesta One Piece, bukan hanya lambang bajak laut. Ia adalah simbol kebebasan, semangat petualangan, dan perlawanan terhadap penindasan. Dalam konteks Indonesia hari ini, ia diserap sebagai metafora perlawanan sipil terhadap sistem yang dianggap gagal memenuhi janji-janji kemerdekaan. Maka tak heran, jika bendera ini dikibarkan bukan untuk memuliakan Luffy semata, melainkan sebagai saluran rasa frustrasi kolektif.
Narasi dalam One Piece yang menempatkan "Tenryuubito" sebagai elite penindas dan bajak laut sebagai agen keadilan, justru menggambarkan dunia yang dibolak-balik. Di mana yang dianggap jahat justru melawan ketidakadilan, dan yang berkuasa justru menyalahgunakan wewenangnya. Ini resonan dengan apa yang dirasakan sebagian masyarakat Indonesia yang terhimpit kesenjangan, korupsi, dan ketidakpastian hukum.
Evello dan Drone Emprit mencatat, penggunaan bendera Jolly Roger sebagai simbol kritik meningkat sejak akhir Juli 2025. Mayoritas unggahan bernada sindiran, kekecewaan, dan kritik sosial-politik. Tak ada mobilisasi terstruktur. Ini adalah bentuk gerakan organik di ranah digital yang muncul dari keresahan bersama. Fenomena ini mengindikasikan pergeseran bentuk partisipasi politik masyarakat dari yang konvensional ke arah simbolik-populer.
Ketika janji kemerdekaan terasa hampa, rakyat beralih pada simbol yang bisa bicara lebih jujur. Jolly Roger bukan sekadar bendera bajak laut, tapi cermin keresahan generasi yang haus keadilan, di dunia nyata yang tak semanis mimpi kemerdekaan.
Namun demikian, tidak semua pihak menganggap fenomena ini sah. Sebagian menyebutnya sebagai kemerosotan pemahaman ideologi negara. Ada kekhawatiran bahwa simbol bajak laut bisa merusak kesakralan Hari Kemerdekaan dan melemahkan nasionalisme. Terlebih, Pasal 24 UU Nomor 24 Tahun 2009 tegas melarang bendera negara diposisikan di bawah simbol lain. Ini membuka ruang perdebatan antara kebebasan berekspresi dan etika bernegara.
Justru di titik inilah kita dihadapkan pada dilema, apakah nasionalisme hari ini hanya sebatas menghormati simbol negara, ataukah ia juga menuntut negara untuk hadir dalam kehidupan warganya? Ketika rakyat merasa tidak lagi dilindungi, simbol nasional yang selama ini diagungkan bisa kehilangan makna dan digantikan oleh simbol-simbol tandingan yang dianggap lebih representatif.
Kita juga tidak bisa menafikan bahwa budaya pop telah menjadi kanal paling efektif untuk menyampaikan aspirasi publik. Bendera One Piece dalam hal ini, hadir sebagai simbol populer yang mudah dikenali dan penuh makna emosional bagi generasi muda. Ia lebih komunikatif dibanding jargon politik formal yang kian kehilangan daya ikat dengan publik.
Di berbagai negara, idiom budaya pop memang sering dipakai untuk menyampaikan kritik. Di Hong Kong, topeng Guy Fawkes dari film V for Vendetta menjadi lambang protes. Di AS, karakter dari The Handmaid's Tale dipakai dalam aksi feminis. Maka tak aneh jika di Indonesia, masyarakat mulai mengadopsi simbol dari One Piece sebagai ekspresi kecewa dan tuntutan keadilan.
Penting untuk membedakan antara bentuk protes simbolik dan ancaman nyata terhadap negara. Tidak semua simbol tandingan adalah upaya makar. Banyak di antaranya justru lahir dari keinginan untuk memperbaiki sistem dan menuntut perubahan. Menolak simbol tandingan tanpa memahami pesan di baliknya adalah kegagalan dalam membaca dinamika budaya politik kontemporer.
Kita tidak bisa melawan simbol budaya pop dengan pendekatan koersif. Hal yang lebih dibutuhkan adalah dialog, memahami alasan mengapa simbol seperti Jolly Roger bisa begitu populer. Alasan apa yang sebenarnya sedang disuarakan oleh masyarakat sekaligus mengibarkannya. Reaksi negara yang represif hanya akan memperkuat narasi bahwa negara anti kritik dan abai terhadap suara rakyat.
Fenomena ini sebagai momen emas untuk mereformulasi relasi antara negara, warga negara, dan simbol-simbol yang mengikatnya. Nasionalisme tidak seharusnya eksklusif dan kaku. Ia harus lentur, terbuka, dan adaptif terhadap cara-cara baru dalam menyuarakan cinta tanah air, termasuk melalui budaya pop.
Bendera Luffy bukan ancaman, tapi pesan. Pesan bahwa rakyat ingin kebebasan sejati, bukan sekadar seremonial. Budaya pop telah menjadi bahasa baru politik, yaitu langsung, emosional, dan tak bisa diabaikan oleh kekuasaan yang tuli.Â
Apakah pengibaran bendera One Piece menjelang 17 Agustus adalah bentuk pengkhianatan? Saya kira tidak. Ini adalah seruan bahwa banyak di antara kita belum merasakan kemerdekaan yang sejati. Seruan itu mungkin datang dalam bentuk bendera hitam bertengkorak, tapi semangatnya tetap merah putih, dalam tafsir yang lebih jujur dan egaliter.
Jika negara ingin merayakan kemerdekaan dengan sungguh-sungguh, maka ia perlu lebih dulu mendengarkan pesan yang dikirim melalui bendera One Piece. Suara kekecewaan, harapan, dan keinginan akan dunia yang lebih adil. Sebab sejatinya, seperti kata Luffy, "Aku tidak ingin menaklukkan lautan. Aku hanya ingin kebebasan untuk berlayar di lautan itu."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI