Di balik megahnya gedung-gedung kedutaan besar Republik Indonesia di berbagai negara, tersembunyi kisah diplomasi yang tak selalu berurusan dengan perundingan damai atau hubungan dagang strategis. Di balik dinding kaca dan lambang Garuda Pancasila yang megah, ada fakta ironis. Diplomat kita kerap direpotkan oleh urusan pribadi para pejabat dan keluarga mereka yang sedang melancong ke luar negeri.
Alih-alih fokus pada misi utama untuk melayani dan melindungi warga negara Indonesia (WNI) di luar negeri, para diplomat dan staf lokal seringkali harus menjadi porter tak resmi, pemandu belanja, hingga pengurus logistik keluarga pejabat. Ini adalah realitas yang kerap tak muncul dalam laporan resmi, tetapi membebani fungsi diplomatik secara sistemik.
Konvensi Wina 1961 secara tegas menyatakan bahwa tugas perwakilan diplomatik adalah untuk mewakili negara pengirim, melindungi kepentingannya dan warga negaranya, serta melakukan negosiasi dan promosi. Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia juga telah merumuskan mandat yang sama, yaitu perlindungan dan pelayanan untuk seluruh WNI. Namun, praktik lapangan kerap menyimpang.
Surat resmi dari lembaga-lembaga pemerintah Indonesia yang meminta bantuan kedutaan besar RI untuk mengurus keluarga pejabat bukanlah cerita baru. Pada Juli 2025, publik digital Indonesia diramaikan oleh bocornya satu dari sekian banyak surat semacam itu. Surat itu menyebut permintaan bantuan penuh terhadap perjalanan pribadi keluarga pejabat ke luar negeri. Netizen murka. Tapi para diplomat hanya bisa diam.
Diplomat yang sesungguhnya bukan hanya piawai bernegosiasi, tetapi juga menjaga integritas negara di setiap langkahnya, bukan sibuk melayani ego segelintir elite yang lupa diri dan lupa fungsi.Â
Hal yang lebih mengkhawatirkan, banyak permintaan datang bahkan tanpa dasar surat resmi. Beberapa pejabat dan rombongan merasa punya "hak moral" atas pelayanan ekstra dari perwakilan diplomatik RI, hanya karena jabatan mereka. Ironisnya, diplomat kita tetap harus menyambut, bahkan ketika permintaan itu jauh dari logika profesionalisme hubungan luar negeri.
Peran diplomasi Indonesia sangat dibutuhkan dalam situasi global yang penuh ketegangan. Perang dagang antara kekuatan besar, konflik bersenjata seperti yang terjadi antara Iran dan aliansi Israel-Amerika Serikat pada Juni 2025, hingga kejahatan transnasional, semuanya menuntut respons cepat dan strategis dari diplomat kita. Sayangnya, sebagian energi itu terkuras untuk mengurusi hal yang tak seharusnya menjadi bagian dari misi diplomatik.
Evakuasi WNI dari kawasan konflik seperti Iran dan Suriah beberapa waktu lalu adalah contoh nyata betapa penting dan gentingnya tugas diplomat. Dalam situasi itu, Kemenlu dan perwakilan RI bekerja siang malam mengevakuasi pekerja migran, mahasiswa, dan pelancong Indonesia. Ini adalah tugas nyata dan berat yang seharusnya tidak dibayangi oleh urusan koper dan oleh-oleh pejabat.
Sementara Indonesia mengalami defisit jumlah diplomat dan staf perwakilan luar negeri, beban non-esensial dari pejabat yang minta diistimewakan hanya memperparah situasi. Banyak kantor perwakilan hanya memiliki dua hingga tiga diplomat aktif untuk melayani ribuan WNI serta menjalin komunikasi bilateral maupun multilateral.
Sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, Indonesia seharusnya memperlakukan diplomasi sebagai garda depan kedaulatan dan citra negara, bukan sebagai pelengkap kenyamanan rombongan pejabat. Saat diplomat kita harus menurunkan tas belanjaan kerabat pejabat, yang hilang bukan hanya waktu, tetapi juga wibawa negara.
Tugas utama diplomat mencakup tiga hal besar: mewakili, melindungi, dan bernegosiasi. Ketiga fungsi ini adalah kunci untuk menjaga martabat negara di panggung global. Diplomasi bukan profesi untuk bersolek, tapi untuk menyelamatkan. Dalam dunia yang penuh konflik dan krisis, kita membutuhkan para diplomat yang fokus dan profesional, bukan yang terpecah energinya untuk urusan personal pejabat.
Penting kiranya Kementerian Luar Negeri mengambil sikap tegas, yaitu menolak permintaan di luar mandat, dan melindungi para diplomat dari tekanan institusi domestik yang menyimpang. Diplomasi bukan pelayan pribadi birokrasi, melainkan garda depan penjaga integritas bangsa. Bila tak ditegaskan sekarang, praktik buruk ini akan menjadi norma yang membusukkan sistem luar negeri RI.
Menghormati diplomat adalah menghargai kedaulatan bangsa. Bebani mereka dengan tugas pribadi, dan Anda mengikis kehormatan Indonesia di mata dunia.Â
Sebagaimana dikatakan Benjamin Franklin, "Diplomat yang baik adalah mereka yang bijaksana, tenang, dan sabar terhadap segala bentuk kebodohan dan provokasi." Namun kesabaran itu tak boleh disalahartikan sebagai pembenaran bagi penyalahgunaan wewenang pejabat negara. Kesabaran perlu dibarengi dengan perlindungan sistemik terhadap martabat profesi diplomatik.
Kamus Cambridge menyebut diplomat sebagai seseorang yang mampu mengelola situasi sulit tanpa menimbulkan kemarahan siapa pun. Tetapi ini tak berarti diplomat harus diam ketika menjadi korban dari sistem birokrasi yang tak tahu batas. Profesionalisme harus dijaga dengan kebijakan dan etika institusional yang kokoh.
Sudah waktunya publik dan pejabat menyadari bahwa diplomat bukanlah pelengkap wisata, bukan pula asisten pribadi. Mereka adalah pejuang dalam balutan jas resmi, yang mempertaruhkan ketenangan, keselamatan, dan kehormatan bangsa di panggung internasional. Melemahkan mereka adalah melemahkan negara itu sendiri.
Mari kita perkuat peran diplomasi RI dengan membebaskan para diplomat dari beban yang bukan tugas mereka. Perkuat mereka dengan sistem, etika, dan penghormatan. Karena pada pundak mereka lah, wibawa dan perlindungan warga negara Indonesia di dunia internasional bertumpu. Dan karena diplomasi sejati adalah tentang menjaga martabat, bukan menjinjing tas belanjaan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI