Parade korupsi dengan nilai raksasa terus membayangi bangsa ini. Tahun 2025 belum berakhir, namun masyarakat sudah disuguhi fakta-fakta mengejutkan: potensi kerugian negara hampir mencapai 1 kuadriliun rupiah akibat korupsi di berbagai sektor strategis. Namun, di tengah gelombang kegelisahan publik, regulasi yang dianggap menjadi salah satu senjata pamungkas pemberantasan korupsi, yakni Undang-Undang Perampasan Aset, justru tak kunjung disahkan. Lebih menyedihkan, pernyataan Menko Polhukam Yusril Ihza Mahendra yang menyebut belum ada kegentingan memaksa untuk mengeluarkan Perpu Perampasan Aset, terasa kontras dengan suasana kebatinan publik.
Pernyataan tersebut seolah mengabaikan urgensi pemulihan kerugian negara dan penegakan keadilan yang lebih tegas terhadap para koruptor kelas kakap. Sebagai akademisi dan praktisi hukum pidana, saya menilai pelambatan ini bukan hanya problem teknis legislasi, tetapi juga mencerminkan tarik-menarik kepentingan dalam ruang kekuasaan yang kerap tidak berpihak pada kepentingan rakyat.
Padahal, Presiden Prabowo Subianto sudah menegaskan dukungannya dalam pidato Hari Buruh Internasional lalu. Dukungan presiden seharusnya menjadi katalis bagi percepatan proses legislasi. Bukankah salah satu fungsi konstitusional presiden adalah memastikan tata kelola pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi?
Yang lebih ironis, RUU Perampasan Aset ini bukan barang baru. Sudah digagas sejak 2008 oleh PPATK, dan bergulir dalam pusaran pembahasan tanpa akhir hingga sekarang. Bayangkan, hampir dua dekade bangsa ini menunggu perangkat hukum yang bisa menjerat koruptor tanpa harus menunggu vonis pidana, tetapi hanya dengan pembuktian terbalik terhadap asal-usul aset.
Namun kini, alasan bahwa kita harus "menunggu rampungnya RUU KUHAP" justru digunakan untuk menunda kembali pembahasan. Ini bukan soal ketergesaan, ini soal momentum. Ketika rakyat menjerit akibat mahalnya kebutuhan hidup, ketika anggaran pembangunan tersedot ke kantong-kantong gelap, maka urgensi seharusnya menjadi etika hukum yang dijunjung, bukan prosedur normatif yang berlarut-larut.
Sebagian pihak berdalih bahwa perampasan aset bisa dilakukan lewat instrumen hukum yang ada, seperti UU Tindak Pidana Korupsi, hukum acara pidana, serta kewenangan KPK, Polri, dan Kejaksaan. Tetapi realitas di lapangan menunjukkan banyak celah. Tanpa UU khusus, proses perampasan masih harus menunggu inkracht putusan pidana, yang seringkali membuat aset keburu dialihkan, dijual, atau dilenyapkan oleh pelaku.
Dalam banyak negara, seperti Italia, Swiss, atau bahkan Kolombia, keberadaan undang-undang perampasan aset non-konvensional terbukti mempercepat pemulihan aset negara. Model non-conviction based asset forfeiture memungkinkan negara menyita kekayaan yang tidak bisa dijelaskan asal-usulnya tanpa harus menunggu vonis bersalah. Bukankah itu yang kita butuhkan sekarang?
Korupsi bukan hanya kejahatan luar biasa (extraordinary crime), tapi juga kejahatan sistemik yang melahirkan ketimpangan struktural. Maka respons hukumnya pun tidak bisa biasa-biasa saja. Kita butuh keberanian legislasi, bukan hanya narasi politik atau janji kosong. RUU Perampasan Aset adalah jalan menuju pembalikan arus impunitas yang selama ini dinikmati para koruptor elit.
Ketika masyarakat melihat penegakan hukum yang tebang pilih, dan ketika pelaku korupsi triliunan tetap bisa hidup nyaman di luar penjara, maka kepercayaan terhadap sistem hukum pun terkikis. Ini bukan hanya soal hukum, tetapi soal legitimasi negara dalam membela rakyatnya. Perampasan aset adalah pesan tegas bahwa negara tak memberi tempat pada hasil kejahatan.
Mengapa negara terkesan ragu? Bisa jadi karena banyak aktor politik dan ekonomi yang berkepentingan. Ketika harta hasil korupsi bisa disita tanpa perlu pembuktian pidana yang kompleks, maka banyak pihak yang merasa posisinya terancam. Tapi di situlah ujian keberpihakan: apakah negara lebih memilih kenyamanan elite atau keadilan untuk rakyat?
Jika kekayaan negara bisa kembali ke kas publik, maka pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan bisa berjalan lebih optimal. Bayangkan, hanya dengan menyelamatkan separuh dari potensi kerugian negara akibat korupsi Pertamina, negara bisa membangun ribuan sekolah, rumah sakit, dan fasilitas dasar lainnya.