Sejak diluncurkan pada tahun 2014, kebijakan Dana Desa digadang-gadang sebagai instrumen utama untuk pemerataan pembangunan dan pemberdayaan ekonomi desa. Dengan alokasi triliunan rupiah setiap tahun, Dana Desa telah mendorong pembangunan infrastruktur dan peningkatan layanan dasar di pelosok Indonesia. Namun, setelah satu dekade implementasi, kebijakan ini justru menghadirkan paradoks. Alih-alih menjadi solusi bagi ketimpangan desa dan kota, Dana Desa malah menciptakan problematika baru yakni maraknya korupsi yang justru berakar dari desa.
Salah satu penyebab utama meningkatnya kasus korupsi dalam pengelolaan Dana Desa adalah lemahnya peran Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Dalam berbagai regulasi, BPD diamanatkan sebagai mitra kepala desa dalam pengawasan dan perumusan kebijakan desa. Namun dalam praktiknya, mekanisme dan aturan main BPD tidak diatur secara jelas dan kuat sehingga menyebabkan ketimpangan dalam distribusi kekuasaan di desa. Kepala desa yang memiliki kewenangan besar dalam mengelola Dana Desa seringkali memanfaatkan kelemahan ini untuk bertindak sewenang-wenang, tanpa adanya kontrol efektif dari BPD.
Dari perspektif sosiologi politik, lemahnya pengawasan Dana Desa semakin diperparah oleh budaya politik uang yang telah mengakar dalam pemilihan kepala desa. Pilkades yang pada awalnya bertujuan untuk memilih pemimpin desa yang kredibel dan berintegritas, seolah telah membudaya menjadi arena pertarungan transaksional. Para calon kepala desa seringkali menggelontorkan dana besar untuk membeli suara warga, dengan harapan dapat menguasai Dana Desa setelah terpilih. Akibatnya, praktik ini menciptakan lingkaran setan korupsi yang dimulai dari proses demokrasi di tingkat desa.
Desa seharusnya menjadi lokomotif pembangunan, bukan ladang bagi korupsi. Transparansi dan integritas adalah kunci untuk memastikan Dana Desa benar-benar membangun, bukan merusak.
Dari sisi regulasi, kebijakan Dana Desa sebenarnya telah dilengkapi dengan berbagai aturan teknis, seperti UU Desa dan peraturan turunannya. Namun, regulasi ini masih memiliki banyak celah yang memungkinkan penyalahgunaan. Salah satu contohnya adalah ketidaktegasan dalam mekanisme transparansi dan akuntabilitas penggunaan Dana Desa. Laporan keuangan desa seringkali dibuat secara formalitas, tanpa audit independen yang memadai. Bahkan dalam banyak kasus, masyarakat desa sendiri tidak memiliki akses yang cukup untuk mengetahui bagaimana dana tersebut dikelola.
Dampak dari lemahnya pengawasan dan korupsi yang terjadi di desa bukan hanya pada aspek ekonomi, tetapi juga pada legitimasi pemerintahan desa itu sendiri. Kepercayaan masyarakat terhadap kepala desa dan aparatur desa semakin menurun akibat banyaknya kasus penyelewengan Dana Desa. Hal ini berdampak pada partisipasi masyarakat yang semakin rendah dalam proses pembangunan desa, karena mereka merasa bahwa kebijakan desa hanya menguntungkan segelintir elite lokal.
Selain itu, fenomena ini juga menimbulkan implikasi jangka panjang terhadap pola pembangunan desa yang tidak berkelanjutan. Alih-alih mengarah pada pembangunan yang berorientasi pada kebutuhan masyarakat, banyak proyek desa yang justru bersifat seremonial atau hanya menguntungkan kelompok tertentu. Misalnya, pembangunan infrastruktur yang dilakukan tanpa perencanaan matang, sehingga menghasilkan proyek-proyek yang mangkrak atau tidak sesuai kebutuhan riil masyarakat desa.
Dalam konteks pemerataan pembangunan, Dana Desa sebenarnya memiliki potensi besar untuk mengangkat desa dari keterbelakangan ekonomi. Namun, ketika mekanisme pengelolaannya disusupi oleh kepentingan politik lokal yang transaksional, tujuan tersebut menjadi sulit tercapai. Sebaliknya, Dana Desa justru semakin memperdalam ketimpangan di tingkat desa itu sendiri, di mana elite desa semakin diuntungkan, sementara masyarakat tetap berada dalam posisi subordinasi.
Oleh karena itu, perlu adanya reformasi kebijakan terkait pengelolaan Dana Desa, khususnya dalam memperkuat peran dan mekanisme kerja BPD. BPD harus diberikan kewenangan yang lebih jelas dalam mengawasi kepala desa dan pengelolaan Dana Desa, dengan mekanisme pengawasan yang lebih transparan. Selain itu, audit independen yang lebih ketat harus diterapkan untuk memastikan bahwa penggunaan Dana Desa benar-benar sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Selain perbaikan regulasi, pembudayaan integritas dalam politik desa juga menjadi hal yang sangat mendesak. Politik uang dalam Pilkades harus ditekan dengan aturan yang lebih ketat dan sanksi yang lebih berat bagi pelaku politik transaksional. Pendidikan politik bagi masyarakat desa juga harus diperkuat, agar mereka lebih kritis dalam memilih pemimpin desa dan tidak tergoda dengan iming-iming uang dalam proses pemilihan.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!