Mohon tunggu...
Muh Khamdan
Muh Khamdan Mohon Tunggu... Researcher / Analis Kebijakan Publik

Berbagi wawasan di ruang akademik dan publik demi dunia yang lebih damai dan santai. #PeaceStudies #ConflictResolution

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Menggugat Integritas, Menata Ulang Peradilan dari Rotasi 199 Hakim

24 April 2025   10:25 Diperbarui: 24 April 2025   10:25 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sejumlah hakim dan pegawai pengadilan negeri dalam aksi tuntut kenaikan gaji (Sumber: cnnindonesia.com)

Perombakan besar-besaran terhadap jajaran hakim dan panitera oleh Mahkamah Agung (MA), menyusul mencuatnya dugaan praktik jual beli hukum di PN Surabaya dan PN Jakarta Selatan, telah menggegerkan publik. Sebanyak 199 hakim dan 68 panitera mengalami rotasi, termasuk penggantian ketua PN Jakarta Pusat, PN Jakarta Selatan, dan PN Jakarta Utara. Langkah ini tentu tidak sekadar administratif, tetapi politis secara hukum, dan mencerminkan upaya penyelamatan integritas peradilan yang telah lama digerus oleh praktik mafia hukum.

Dalam perspektif politik hukum, perombakan ini adalah bentuk intervensi institusional yang sah demi menjaga marwah lembaga peradilan. Sebab, hukum bukan hanya sistem norma yang tertulis, tetapi juga sistem kepercayaan publik. Ketika hakim yang menjadi simbol keadilan mulai dipertanyakan integritasnya, maka seluruh bangunan keadilan goyah. MA sebagai puncak lembaga yudisial sedang berupaya membangun kembali kredibilitas tersebut.

Namun, langkah rotasi dan mutasi ini tidak cukup jika hanya berhenti pada aspek mobilitas jabatan. Dalam konteks hukum progresif yang dikembangkan oleh Satjipto Rahardjo, hukum harus dilihat sebagai alat untuk mencapai keadilan substantif, bukan sekadar prosedur formal. Perombakan ini harus menjadi pintu masuk bagi perubahan sistemik terhadap kultur dan ekosistem peradilan yang selama ini permisif terhadap penyimpangan.

Pada dasarnya, permasalahan bukan hanya pada individu hakim atau panitera, melainkan pada sistem dan jejaring mafia peradilan yang telah lama menggurita. Pemetaan terhadap pola-pola relasi kuasa dalam lembaga peradilan menjadi hal mendesak. Siapa bermain di mana, siapa mengamankan siapa, dan bagaimana aliran kekuasaan informal bekerja. Semua ini harus dibongkar melalui audit integritas yang sistematis.

Peradilan yang adil bukan dilahirkan dari bangku pengadilan, tapi dari nurani hakim yang tak bisa dibeli dan sistem hukum yang tak memberi celah pada korupsi.

Rotasi hakim dari Jakarta ke daerah, atau sebaliknya, tentu membawa harapan terciptanya "shock culture" dan disrupsi terhadap pola relasi lama. Tapi, kita tidak boleh abai bahwa mafia peradilan bukan soal lokasi, melainkan tentang mentalitas dan jaringan. Seorang hakim dari daerah pun bisa "ditarik" masuk ke sistem mafia jika tidak ada penguatan integritas dan resistensi terhadap intervensi.

Dalam kacamata hukum pidana, praktik jual beli hukum pada dasarnya adalah bentuk penyalahgunaan kekuasaan yudisial yang merugikan hak pencari keadilan. Ketika putusan dapat dibeli, maka hukum tak lebih dari komoditas. Di sinilah pentingnya reformasi peradilan menyentuh akar, yaitu pendidikan etika hukum, pengawasan ketat, dan pembentukan unit anti-korupsi internal yang otonom.

Kita perlu mencermati bahwa beberapa pengungkapan kasus korupsi di pengadilan justru muncul dari kerja-kerja penyadapan dan OTT KPK. Ini menandakan bahwa sistem internal MA dan KY masih belum cukup mampu mengendus potensi korupsi di jantung peradilan. Perombakan ini seharusnya dibarengi dengan penguatan instrumen whistleblower, digitalisasi proses peradilan, dan pembentukan indeks integritas hakim secara berkala.

Politik hukum peradilan Indonesia sel ama ini cenderung reaktif, menunggu krisis untuk bertindak. Padahal, perubahan mestinya bersifat proaktif dan berbasis pada analisis risiko. Kita membutuhkan sistem peradilan yang tak hanya mampu menegakkan hukum, tetapi juga mendeteksi dan mencegah potensi penyimpangan sejak dini.

Keberanian MA melakukan rotasi besar harus diapresiasi, tetapi publik juga harus mengawal apakah rotasi ini membawa efek jera atau hanya mengganti pelaku tanpa memutus mata rantai praktik koruptif. Di sinilah peran masyarakat sipil, akademisi, media, dan organisasi profesi hukum untuk bersama-sama membangun sistem yang transparan.

Dalam hukum progresif, transformasi lembaga tidak bisa dilepaskan dari transformasi manusia. Etika, empati, dan keberanian moral harus menjadi pilar dalam membangun ekosistem peradilan yang sehat. Karena pada akhirnya, hukum tidak dijalankan oleh robot, tapi oleh manusia yang memiliki kehendak dan pilihan.

Sebagai guru besar dan akademisi, saya mendorong agar pendidikan hukum di Indonesia mulai lebih serius memasukkan kurikulum antikorupsi, pelatihan moral keadilan, dan praktik klinik hukum yang berorientasi pada pelayanan publik. Jangan sampai fakultas hukum hanya menghasilkan "teknokrat hukum" tanpa nurani.

Kita juga harus membangun meritokrasi yang kuat dalam pengangkatan dan promosi hakim. Rekam jejak integritas, kemampuan menulis putusan yang beralasan, dan sikap antikorupsi harus menjadi indikator utama, bukan sekadar senioritas atau kedekatan personal.

Ketika hukum jadi komoditas, keadilan mati pelan-pelan. Tapi saat integritas ditegakkan, harapan rakyat kembali hidup di ruang sidang. 

Perlu juga kita dorong Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial untuk menyusun Judicial Ethics Report yang dipublikasikan setiap tahun. Laporan ini akan menjadi cermin publik dan pengingat bahwa hakim bukan di atas hukum, tetapi justru berada di bawah sorotan moral masyarakat.

Perombakan ini akan sia-sia jika tidak disertai dengan upaya membangun ekosistem baru. Mafia peradilan akan selalu mencari celah, dan hanya sistem yang kokoh serta transparan yang mampu menjadi tameng. Jika hukum adalah panglima, maka keadilan harus menjadi ruhnya.

Momentum ini adalah panggilan sejarah. Peradilan tidak hanya tempat mencari keadilan, tapi juga benteng terakhir rakyat kecil. Jika benteng ini jebol karena ulah para penghuninya, maka negara hukum akan menjadi ilusi. Mari kita jadikan perombakan hakim bukan sebagai akhir, tetapi sebagai awal dari peradilan yang berintegritas. Semoga langkah ini tidak berhenti sebagai agenda administratif, tetapi menjadi tonggak revolusi mental dan struktural lembaga peradilan Indonesia.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun