Mohon tunggu...
Muh Khamdan
Muh Khamdan Mohon Tunggu... Researcher / Analis Kebijakan Publik

Berbagi wawasan di ruang akademik dan publik demi dunia yang lebih damai dan santai. #PeaceStudies #ConflictResolution

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dari Trauma Menuju Keadilan, Melawan Kekerasan Kawin Tangkap di Sumba

15 April 2025   14:03 Diperbarui: 15 April 2025   16:38 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perempuan-perempuan dengan pakaian khas Sumba yang rentan mengalami kekerasan seksual dari tradisi kawin tangkap (Sumber: pesona.co.id)

Harian Kompas pada 15 April 2025 rubrik Nusantara halaman 11, mengungkap kisah tragis seorang gadis Sumba yang dua kali diculik oleh pria berbeda untuk dipaksa menikah. Korban bahkan tidak mengenal para pelaku yang memerintahkan penculikan tersebut. Peristiwa ini bukan hanya mencoreng nilai-nilai kemanusiaan, tetapi juga menunjukkan bagaimana tradisi bisa disalahgunakan untuk menjustifikasi kekerasan terhadap perempuan.kompas.id

Tradisi "kawin tangkap" di Sumba, yang awalnya mungkin dimaksudkan sebagai bagian dari adat pernikahan, kini seringkali berubah menjadi praktik penculikan dan pemaksaan. Perempuan dijadikan objek, bukan subjek, dalam proses yang seharusnya melibatkan persetujuan kedua belah pihak. Sebagai Generasi yang hidup di era digital dan informasi, kita tentu memiliki tanggung jawab moral untuk tidak tinggal diam. Kita harus kritis terhadap tradisi yang memiliki potensi besar melanggar hak asasi manusia dan merendahkan martabat perempuan. 

Dalam banyak kasus, korban diculik tanpa persetujuan, dipaksa menikah dengan pria yang bahkan tak dikenalnya, dan diperlakukan seakan-akan tubuh dan kehormatannya bisa "dimiliki" hanya karena status adat. Hal ini bukan hanya menyalahi hukum, tetapi juga merobek prinsip dasar HAM dan kesetaraan gender. Fenomena penculikan perempuan berdalih Kawin Tangkap ini menunjukkan bahwa tidak semua yang disebut "tradisi" layak dipertahankan. Ketika sebuah praktik adat menyebabkan penderitaan dan pelanggaran hak, sudah saatnya kita mengevaluasi dan, jika perlu, meninggalkannya.

Secara kriminologis, kawin tangkap mengandung semua unsur tindak pidana. Adanya perampasan kemerdekaan (penculikan), ancaman kekerasan fisik dan psikis, serta pelecehan seksual. Ditambah lagi, adanya unsur pemerasan terhadap keluarga korban menjadikan praktik ini sebagai kejahatan berlapis. Hukum di Indonesia sebenarnya sudah mengatur perlindungan terhadap perempuan melalui UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Namun, implementasi di lapangan seringkali terhambat oleh norma sosial dan tekanan budaya. 

Pelaku seringkali bersembunyi di balik dalih "pelestarian tradisi". Padahal, tidak semua yang diklaim sebagai warisan budaya layak dipertahankan. Tradisi yang melukai, merendahkan martabat manusia, dan menghancurkan masa depan perempuan muda bukanlah warisan, itu adalah beban sejarah. 

UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) sudah sangat jelas memberikan ruang hukum untuk menjerat pelaku praktik kawin tangkap. Di sana ditegaskan bahwa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan pernikahan, serta perampasan kebebasan merupakan bagian dari kekerasan seksual yang dapat dipidana.

Selain itu, Indonesia telah meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW). Ini berarti negara memiliki kewajiban moral dan hukum untuk mencegah segala bentuk diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan, termasuk yang dikemas dalam bingkai adat.

Pendekatan hukum pidana modern memandang bahwa kejahatan bukan hanya pelanggaran terhadap negara, tapi juga terhadap harkat dan martabat korban. Dalam konteks ini, negara harus hadir bukan hanya menindak pelaku, tetapi juga melindungi korban secara menyeluruh: dari aspek hukum, psikis, hingga sosial.

Bahkan secara sosiologis, praktik kawin tangkap menciptakan ketimpangan relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan. Perempuan dijadikan objek yang "boleh diambil" dan "dibeli", seakan tidak punya hak untuk menentukan nasib hidupnya sendiri. Ini adalah bentuk patriarki paling kasar yang masih berlangsung di abad 21. 

Banyak korban mengalami trauma jangka panjang. Gangguan kecemasan, depresi, hingga kehilangan kepercayaan terhadap lingkungan sosialnya. Dan sayangnya, banyak dari mereka bungkam karena takut distigma atau karena tekanan dari komunitas adat yang konservatif.

Dalam banyak kasus, korban tak hanya kehilangan kebebasan, tapi juga kehilangan masa depan. Anak-anak perempuan yang diculik untuk dinikahkan paksa sering kali terputus pendidikannya, tidak mendapat akses layanan kesehatan, dan akhirnya terjebak dalam siklus kemiskinan dan kekerasan rumah tangga.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun