Lonjakan harga cabai rawit merah yang mencapai lebih dari 100 ribu rupiah per kilogram di Pasar Karangayu, Semarang, pada awal Maret 2025, menjadi fenomena yang menyesakkan bagi masyarakat. Tak hanya di Pasar Karangayu, di Pasar Johar pun situasi serupa terjadi. Meski kini harga telah turun ke kisaran 75 ribu rupiah per kilogram, angka ini masih lebih tinggi dibandingkan harga normalnya, sekitar 60 ribu rupiah per kilogram. Kejadian ini menggambarkan pola kenaikan harga yang tidak hanya dipengaruhi oleh hukum klasik supply and demand, tetapi juga oleh berbagai faktor lain yang lebih kompleks.
Kenaikan harga cabai rawit merah yang tajam ini dipicu oleh berkurangnya pasokan dari sentra produksi. Perubahan cuaca yang ekstrem mengakibatkan gagal panen di beberapa daerah, sehingga produksi menurun drastis. Ketika pasokan berkurang dan permintaan tetap tinggi, harga pun melambung. Namun, ada faktor lain yang turut memperparah situasi ini.
Momentum Ramadan menjadi salah satu pemicu utama lonjakan harga berbagai komoditas, termasuk cabai rawit merah. Konsumsi rumah tangga meningkat secara signifikan menjelang dan selama Ramadan, mengingat kebutuhan untuk berbuka dan sahur yang lebih bervariasi serta meningkatnya aktivitas usaha kuliner. Fenomena ini menyebabkan lonjakan permintaan yang tak dapat segera diimbangi oleh pasokan yang ada.
Di sisi lain, spekulasi pasar memainkan peran penting dalam memperparah kenaikan harga. Banyak pedagang yang menahan stok dengan harapan harga akan terus naik, sehingga keuntungan dapat dimaksimalkan. Praktik ini sering terjadi menjelang Ramadan dan Idul Fitri, di mana harga sembako mengalami fluktuasi tajam akibat permainan pasar yang kurang terkendali.
Pedasnya harga cabai bukan sekadar urusan pasokan yang berkurang, tetapi juga cerminan dari persoalan struktural dalam sistem pangan kita. Tanpa perbaikan distribusi dan regulasi, lonjakan harga akan terus menjadi ritual tahunan yang menggerus daya beli masyarakat.Â
Fenomena ini juga diperparah oleh jalur distribusi yang tidak efisien. Biaya transportasi yang meningkat akibat kenaikan harga bahan bakar, serta kendala logistik yang kerap terjadi di berbagai daerah, menyebabkan rantai distribusi terganggu. Akibatnya, cabai yang seharusnya sampai ke pasar dengan harga yang lebih stabil justru mengalami lonjakan harga di tangan konsumen. Dampak dari lonjakan harga cabai rawit merah ini tidak hanya dirasakan oleh konsumen rumah tangga, tetapi juga oleh pelaku usaha kuliner. Warung makan hingga restoran harus mencari alternatif agar tetap bisa menyajikan menu yang sesuai dengan selera pelanggan tanpa membebani biaya produksi yang terlalu tinggi. Bahkan, di beberapa tempat, cabai busuk pun tetap diburu sebagai alternatif lebih murah.
Ketergantungan terhadap pasokan dari daerah tertentu juga menunjukkan kelemahan dalam ketahanan pangan nasional. Seharusnya ada diversifikasi produksi di berbagai wilayah untuk mengurangi risiko ketergantungan terhadap satu atau dua daerah sentra produksi. Dengan demikian, gangguan akibat faktor cuaca atau bencana alam dapat diminimalisir.Â
Selain cabai rawit merah, kenaikan harga juga terjadi pada beberapa komoditas lain, seperti beras, gula, dan minyak goreng. Meskipun lonjakan harga bahan pangan ini sering dikaitkan dengan mekanisme pasar, kenyataannya ada faktor struktural yang belum terselesaikan. Salah satunya adalah ketidakseimbangan antara produksi dan konsumsi yang menyebabkan volatilitas harga semakin tinggi saat momen tertentu seperti Ramadan.
Regulasi pemerintah seharusnya lebih adaptif terhadap pola musiman ini. Intervensi melalui operasi pasar atau stabilisasi pasokan oleh Badan Pangan Nasional bisa menjadi solusi jangka pendek untuk menekan lonjakan harga yang tidak wajar. Selain itu, perlu ada perbaikan sistem rantai distribusi agar harga tidak melonjak akibat permainan tengkulak dan spekulan.
Lebih jauh lagi, transparansi harga di berbagai tingkatan pasar sangat diperlukan. Dengan adanya sistem informasi harga yang dapat diakses oleh petani, pedagang, dan konsumen, rantai distribusi dapat lebih terkontrol dan praktik penimbunan dapat diminimalisir. Digitalisasi dalam perdagangan komoditas juga menjadi solusi jangka panjang yang perlu diterapkan secara luas. Kondisi ini juga menjadi peringatan bagi pemerintah daerah untuk lebih serius dalam membangun ketahanan pangan berbasis lokal. Dengan memperkuat produksi di daerah masing-masing, risiko kelangkaan pasokan dan lonjakan harga dapat dikurangi. Kebijakan yang mendorong petani untuk meningkatkan produksi dan memberikan insentif bagi mereka yang menghadapi risiko panen buruk juga harus segera diperkuat.
Di sisi lain, konsumen juga perlu lebih cerdas dalam menyikapi lonjakan harga ini. Diversifikasi konsumsi dan mencari alternatif bahan pangan dapat menjadi solusi jangka pendek untuk menghindari dampak besar pada pengeluaran rumah tangga. Mengurangi ketergantungan pada satu jenis komoditas tertentu dapat membantu menjaga keseimbangan pasar secara alami.
Fenomena pedasnya harga cabai rawit merah di Semarang kali ini bukan sekadar persoalan pasokan yang berkurang, tetapi juga cerminan dari berbagai persoalan struktural dalam sistem pangan kita. Selama regulasi dan distribusi belum diperbaiki, lonjakan harga bahan pokok akan terus menjadi ritual tahunan yang menggerus daya beli masyarakat.
Ketahanan pangan bukan hanya soal kecukupan pasokan, tetapi juga soal aksesibilitas dan keterjangkauan bagi semua lapisan masyarakat. Karena pangan yang mahal sama artinya dengan kesejahteraan yang terancam.Â