Indonesia kini telah berusia 80 tahun. Delapan dekade sejak proklamasi kemerdekaan dikumandangkan, sejak merah putih berkibar di bawah langit pagi sebagai simbol kebebasan, harga diri, dan harapan. Namun, di usia yang seharusnya matang ini, negeri kita justru terlihat rapuh. Kemeriahan perayaan kemerdekaan tak bisa sepenuhnya menutupi kenyataan bahwa di berbagai sudut negeri, kehancuran mulai terasa. Bukan sekadar kehancuran fisik akibat infrastruktur yang rusak atau lingkungan yang terabaikan, melainkan kehancuran moral, tata kelola, dan kepercayaan rakyat kepada negara.
Merah putih yang dulu berkibar gagah kini mulai memudar warnanya, bukan karena usang termakan waktu, melainkan karena diliputi kegelapan yang lahir dari maraknya korupsi. Korupsi yang menggerogoti dari pusat hingga daerah, yang menjadikan keringat rakyat sebagai bahan bakar kemewahan segelintir orang. Pajak yang mestinya menjadi sumber pembangunan malah menjadi lahan basah bagi penyelewengan. Keringat rakyat diperas melalui pungutan yang kian hari kian mencekik. Ironisnya, hasil pajak itu sendiri banyak yang menguap di tangan mereka yang seharusnya mengelola untuk kemaslahatan bersama.
Dalam situasi seperti ini, muncul pertanyaan besar: akankah Indonesia mampu mencapai 100 tahun dengan predikat "Indonesia Emas" seperti yang selama ini diagungkan? Bagaimana mungkin cita-cita itu tercapai jika kondisi dalam negeri semakin kacau, jika kebijakan justru menambah beban rakyat, dan jika kepercayaan publik terhadap pemerintah terus terkikis?
Kebijakan efisiensi anggaran yang digaungkan oleh Presiden Prabowo, misalnya, kini membuat Menteri Keuangan Sri Mulyani memutar otak untuk mencari sumber pendapatan negara. Sayangnya, langkah yang diambil justru menimbulkan kontroversi. Pajak dinaikkan tanpa pandang bulu. Pedagang kaki lima yang berjualan di emperan jalan, yang penghasilannya pas-pasan, kini ikut terbebani. Bahkan amplop kondangan pun tak luput dari pengawasan pajak. Pajak yang seharusnya berbasis pada kemampuan membayar berubah menjadi alat penarikan seragam yang tak mengenal batas kemampuan rakyat.
Di bawah kebijakan Lembaga Moneter dan Keuangan Mikro (LMKM) yang berada di bawah naungan Kementerian Keuangan, muncul pula praktik pemblokiran rekening tabungan darurat milik rakyat. Bagi sebagian orang, tabungan darurat adalah satu-satunya penyelamat di saat krisis; ketika rekening itu diblokir tanpa alasan jelas, rasa aman yang selama ini dititipkan pada sistem perbankan hilang seketika. Rakyat mulai ragu untuk mempercayai bank, dan ketika kepercayaan terhadap sistem keuangan runtuh, seluruh stabilitas ekonomi negara ikut terancam.
Tidak hanya itu, tanah yang dibiarkan menganggur selama dua tahun disita oleh negara. Alasannya sederhana: agar aset produktif tidak terbengkalai. Namun, di balik logika ekonomi itu, ada ironi yang pahit. Jika tanah yang menganggur dianggap masalah, mengapa rakyat yang menganggur tidak dianggap masalah yang sama pentingnya? Tanah disita untuk diolah, tetapi rakyat menganggur dibiarkan tanpa program pemberdayaan yang nyata. Negara seolah lupa bahwa yang membangun ekonomi bukan hanya tanah dan aset fisik, melainkan manusia yang diberi kesempatan untuk hidup layak.
Demi meredakan tekanan tarif yang ditetapkan Amerika Serikat terhadap Indonesia, Presiden Prabowo dikabarkan memberikan data pribadi rakyat untuk dikelola pihak Amerika. Ini langkah yang memunculkan kekhawatiran besar. Data pribadi adalah bagian dari kedaulatan warga negara. Ketika informasi itu diberikan kepada negara lain, kita sedang menelanjangi rakyat sendiri di hadapan pihak asing. Tidak ada jaminan bagaimana data itu digunakan, dan rakyat sama sekali tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan yang menyangkut privasi mereka. Dalam era digital, data adalah aset paling berharga. Kehilangan kedaulatan data sama saja dengan kehilangan sebagian kedaulatan negara.
Sementara itu, kesenjangan perlakuan antara rakyat kecil dan koruptor semakin jelas terlihat. Koruptor yang telah merugikan negara miliaran rupiah sering kali mendapatkan perlakuan ringan, bahkan perlindungan. Hukuman yang dijatuhkan tidak sebanding dengan kerugian yang ditimbulkan, dan tidak jarang mereka kembali menikmati kebebasan dalam waktu singkat. Di sisi lain, rakyat kecil yang telat membayar pajak atau melakukan pelanggaran administratif justru dihukum dengan keras. Negara tampak lebih cepat mengadili rakyatnya ketimbang membongkar jaringan korupsi yang merajalela.
Akibat berbagai kebijakan dan ketidakadilan ini, semangat kemerdekaan yang dulu membara kini mulai meredup. Seruan "Merdeka!" yang dahulu menjadi api perjuangan kini terdengar hampa di telinga banyak orang. Rakyat mulai merasa merdeka hanya sebatas kata, bukan lagi kenyataan. Mereka terjebak dalam lingkaran kebijakan yang menekan, ekonomi yang tidak berpihak, dan hukum yang tajam ke bawah namun tumpul ke atas.
Rasa adil yang seharusnya menjadi pondasi sebuah negara semakin retak. Ketika pajak diambil tanpa mempertimbangkan kemampuan bayar, ketika bantuan sosial lebih banyak dipolitisasi, dan ketika suara rakyat diabaikan, maka yang terjadi adalah alienasi. Rakyat merasa terpisah dari negara yang mereka perjuangkan, dan jarak itu semakin melebar setiap kali kebijakan lahir tanpa mendengar aspirasi.
Cita-cita "Indonesia Emas" yang dijanjikan untuk 2045 seharusnya bukan hanya slogan. Ia adalah janji bahwa generasi penerus akan hidup di negara yang adil, makmur, dan berdaulat. Namun jika kebijakan terus dibuat dengan pola seperti sekarang, cita-cita itu akan tetap menjadi mimpi yang tak pernah menjadi kenyataan. Indonesia memang memiliki potensi besar: sumber daya alam melimpah, letak strategis, dan jumlah penduduk yang besar. Tetapi potensi tanpa tata kelola yang baik hanya akan menjadi bahan eksploitasi, bukan kemajuan.
Indonesia masih punya pilihan untuk bangkit. Jalan menuju negara emas membutuhkan transparansi yang nyata, bukan sekadar jargon. Setiap rupiah pajak harus bisa dipertanggungjawabkan, setiap kebijakan harus dibuat dengan melibatkan rakyat, dan setiap data pribadi harus dilindungi seperti melindungi kedaulatan itu sendiri. Pajak harus dirancang secara progresif, memudahkan yang lemah dan memberi beban lebih besar kepada yang mampu. Perlindungan ekonomi rakyat kecil harus menjadi prioritas, bukan korban pertama ketika anggaran defisit.
Kepercayaan rakyat terhadap negara bisa dibangun kembali dengan satu cara: tunjukkan bahwa negara bekerja untuk mereka. Itu berarti memutus rantai perlindungan terhadap koruptor, memastikan bahwa hukum berlaku sama untuk semua orang, dan membuktikan bahwa kebijakan yang dibuat bukan hanya demi angka di atas kertas, tetapi demi kesejahteraan nyata. Reformasi birokrasi bukan hanya soal efisiensi, melainkan juga soal moralitas. Aparatur negara harus dibentuk bukan hanya untuk patuh kepada aturan, tetapi juga untuk menghormati dan melayani publik.
Dua dekade menuju usia 100 tahun akan menjadi penentu. Jika langkah yang diambil adalah langkah yang transparan, adil, dan berpihak kepada rakyat, maka Indonesia emas bukanlah mustahil. Kita akan melihat negara yang ekonominya kuat, rakyatnya percaya kepada pemerintah, dan dunia memandang kita sebagai bangsa yang berdaulat. Namun, jika langkah yang diambil justru mempertahankan pola lama---otoriter, timpang, dan korup---maka 2045 akan menjadi tahun penuh kecemasan. Indonesia emas akan berubah menjadi Indonesia cemas.
Hari ini, di usia 80 tahun, kita berada di persimpangan sejarah. Apakah kita akan melangkah menuju kejayaan atau menuju kehancuran, semuanya bergantung pada pilihan yang kita ambil sekarang. Selamat ulang tahun, Indonesiaku. Semoga di sisa perjalanan menuju satu abad kemerdekaan, engkau mampu menemukan kembali semangat yang dulu membuatmu berdiri tegak. Semoga engkau tidak sekadar merayakan hari jadi, tetapi juga menyalakan kembali api perjuangan, agar pada akhirnya kita benar-benar tiba di gerbang emas, bukan gerbang penyesalan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI