Mohon tunggu...
Muhammad Iftahul Jannah
Muhammad Iftahul Jannah Mohon Tunggu... karyawan swasta -

manusia bisa terang karena ada manusia lain

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Identitasmu adalah Merek Bajumu

6 September 2012   05:49 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:51 396
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dimana-mana selalu dielukan bahwa salah satu faktor yang dapat menentukan kemajuan suatu bangsa dilihat dari seberapa banyak jumlah orang-orang yang “berpendidikan” di suatu negara tersebut. Apa jadinya kalau instansi pendidikan dijadikan “lapak” untuk berjualan? Tidak heran kalau remaja di negara adidaya seperti Amerika Serikat maupun Inggris pada awal zaman millennium sudah memiliki ketertarikan yang lebih terhadap mode dan berbagai macam produk masakan, tidak lain karena mulai masuknya korporasi global yang menjual produknya ketataran institusi pendidikan—sekolah dijadikan lapak untuk berdagang. Mungkin begitupun dengan Indonesia.

Berbagai macam program yang ditawarkan oleh korporasi global untuk mencari laba. Semua dikaitkan dengan proses dalam pengabdian terhadap masyarakat dan fungsi sosialnya dalam memberikan manfaat bagi masyarakat. Alasan yang tentu saja dapat diterima oleh akal sehat. Hanya saja ketika kita terbuai dengan fasilitas dan tawaran-tawaran sementara itu, tanpa memikirkan bagaimana pola pikiran serta budaya bangsa yang semakin lama terbenam karena masuknya sponsor merek dagangan—kita hanya menjadi sarjana-sarjana yang memiliki prioritas jauh dari ilmu atau pengetahuan yang seharusnya menjadi sasaran utama dalam dunia pendidikan tersebut.

Sudah banyak sekali contoh dan kejadian yang sering kita temui dan lihat di televisi negara ini—televisi komersil, mulai dari kasus anak-anak sekolahan yang memanfaatkan fasilitas alat komunikasi yang berbuntut pada kasus asusila, kasus remaja yang membanggakan salah satu produk fasion kepada temannya yang akhirnya menjadi tindakan criminal, kasus geng motorpun mungkin seperti itu, kasus penyebaran minuman beralkohol di dunia pendidikan dan sebagainya—merupakan salah satu indikasi besar bahwa generasi bangsa ini sedang mengalami shocking mode yang berujung pada dekadensi moral.

Pendidikan yang seharusnya mengenalkan manusia-manusia bangsa ini pada perjuangannya, budayanya, keanekaragaman sumber daya alam dan sumber daya manusianya maupun prestasi bangsa berubah menjadi pendidikan yang berorientasi pada duit dan pembangunan infrastruktur sekolah. Padahal dalam cerita-cerita lama, setiap negara yang bahkan memiliki keterbatasan SDA, melakukan pengembangan SDM terlebih dahulu, baru negara tersebut bisa maju dan bersaing. Kita di Indonesia tampaknya sudah terlena karena negara ini memiliki sumber daya alam yang begitu melimpah dan merata dari sabang sampai merauke.

Pendidikan sendiri tidak bisa dipahami dengan sekedar mempelajari hal-hal konvensional peninggalan nenek dan kakek moyang kita dahulu. Ketika ini kita laksanakan kita akan tertinggal dalam kemajuan global—namun demikian, pendidikan harusnya mempunyai dasar, dasar itulah seperti budaya kita, masyarakat kita, gotong royong kita maupun kearifan lokal yang begitu kaya, dan perkembangan zaman ataupun teknologi adalah tools agar dasar pendidikan tersebut dapat kita ekspansi ke dunia internasional, kita poles sehingga dapat mendatangkan manfaat yang melimpah untuk masyarakat Indonesia sendiri—bukan hanya jadi objek proyekan bangsa lain.

Mulai dari Budaya, Seni dan Karakter Bangsa


Belajar dari sejarah dan pengalaman adalah pelajaran yang paling berharga, kata petuah. Namun sekarang kita seakan-akan melupakan dan mulai memiliki keinginan untuk mengubur pelajaran itu secara perlahan. Lihatlah bangsa-bangsa sekarang di dunia yang memiliki teknologi dan kemajuan pesat, cina, india, singapura, kuba, dan sebagainya, semua negara ini memulai rencana jangka panjang untuk meraih sebuah kata “kemajuan” dengan kembali mendapatkan budaya, seni, maupun karakter awal negara tersebut—semua negara ini memahami betapa pentingnya hal tersebut dalam mewujudkan negara yang lebih baik. Bukankah kitapun memiliki budaya, seni dan karakter itu—kita memiliki nenek moyang, kita punya gotong royong, kita punya toleransi.

Dalam banyak halpun, negara-negara maju lainnya menjadikan budaya, seni dan karakter sebagai pendongkrak semangat dan etos kerja, sehingga budaya, seni maupun karakter mereka bisa kita pahami karena kita hanya menjadi sasaran ekspansi. Orang-orang barat sangat membanggakan budaya maupun seni, sampai-sampai seni dan budaya kitapun menjadi salah satu magnet bagi kedatangan mereka ke Indonesia. Sekarang, bagaimana kita ingin melakukan ekspansi budaya, seni dan karakter kalau kita sendiri tidak mengenalnya.

Dasar pengembangan yang ditanamkan sebelum memanfaatkan tools yaitu teknologi, merek, produk dan sebagainya adalah point-point di atas. Kita tertinggal jauh dari kata pengembangan itu karena kita buta akan budaya itu sendiri—maka jangan heran kalau sering kita dengar istilah, “ke barat-baratan”—tapi kita jarang mendengar kalimat “ketimur-timuran”. Jadilah kita bebek bagi bangsa-bangsa eropa dan asia yang lainnya. Bukankah bagus kalau kita menjadi penggembala bebek eropa dan asia? Kapan lagi kita menemukan pelajar, mahasiswa dan orang-orang tua yang bangga (tidak hanya ucapan) terhadap budaya dan nenek moyangnya kalau tidak sesegera mungkin hal ini kita pelajari dan memiliki kesadaran untuk mengembangkannya

Perubahan Mindset

Perubahan mindset adalah salah satu solusi dalam menentukan langkah selanjutnya agar bangsa ini tidak hanya menjadi bebek dan remaja-remajanya tidak menjadi “gila” karena merek dan mode yang sedang bergentayangan. Mulai dari berubah untuk suatu yang bermanfaat dibanding dengan “gaya”, merubah dari pola pikir konsumtif menjadi produktif dan kontributif, meraih kembali budaya, seni maupun karakter sebagai suatu kebanggaan (bukan dijadikan suatu hal yang konservatif dan memalukan). Ini adalah langkah yang harus direkonstruksi sebagai penyeimbang masuknya arus globalisasi. Mulai menjadikan sekolah sebagai sarana pengenalan maupun pengembangan budaya daerah dan tempat masing-masing, agar orang lain tahu bahwa Indonesia adalah negara kaya, kaya budaya, kaya alamnya, maupun kaya akan sumber daya manusianya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun