Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Identitasmu adalah Merek Bajumu

6 September 2012   05:49 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:51 396 2
Dalam satu tulisan yang pernah dimuat disalah satu media massa di Indonesia, ada suatu ungkapan yang dituliskan seperti ini “kemajuan teknologi di dunia barat dibarengi dengan kemajuan seni maupun budaya—di Indonesia kemajuan teknologi menenggelamkan seni serta budaya, dan budaya-budaya di Indonesia di anggap sebagai sesuatu yang kolot dan konvensional”. Apa yang kita lakukan sekarang adalah bentuk pemujaan terhadap teknologi secara berlebihan—merek atau branded menjadi sistem jajahan baru dalam sebuah masyarakat yang merdeka secara de jure dan de facto. Hasilnya adalah, generasi ini seperti kehilangan  identitas—tindak-tanduk didasarkan atas alasan gaya, artis idola, merek dan harga barang, bukannya pada kemanfaatan.

Gila Merek

Saya pribadi adalah salah satu orang yang memiliki ketertarikan pada salah satu merek barang atau produk, dan saya rasa setiap orang memiliki kecenderungan masing-masing pada produk-produk tertentu. Mungkin kita semua pernah menjumpai orang-orang disekitar kita, bahkan kita sendiri yang sangat gila pada “merek” sampai kita rela melakukan apa saja untuk bisa mendapatkan “merek” tersebut—hingga rasionalitas untuk memenuhi kebutuhan berubah menjadi rasionalitas untuk bergaya dan eksis mengikuti perembangan zaman dan teknologi. Padahal semakin kita mengikuti kemunculan teknologi, otomatis kita akan menjauh dengan teknologi tersebut, karena keinginan yang berbuah tanpa batas.

Hal ini merupakan fenomena yang sedang trend di zaman millennium, hingga dengan merek ataupun produk, seseorang dapat mengganti identitas mereka masing-masing—ingin menjadi artis ini, harus menggunakan pakaian yang bermerek sesuai dengan artis idolanya, ingin terlihat modis dan bergaya harus menggunakan mode pakaian atau gaya rambut yang lagi trendi, ingin sehat dan terlihat fit harus minum minuman khusus yang menjadi salah satu sponsor, mau terlihat cantik dan tampan, harus menggunakan parfum dan lotion dengan merek tertentu, ingin terlihat berani dan tidak dibilang cupu harus bergandengan tangan bahkan berciuman dengan pacarnya. Bisa-bisa negara ini berubah nama menjadi negara latah Indonesia.

Tidak jarang kita jumpai pula perkumpulan-perkumpulan yang “gila” dengan merek atau branded suatu produk. Bukan perkumpulan dan orang-orang di dalamnya yang menjadi masalah, kalau perkumpulan ini hanya dibuat untuk menjadi stempel pembeda tanpa manfaat dan memicu sikap-sikap anarkis dan separatis, bukankah kita sudah ditipu oleh benda yang tidak bergerak yaitu “merek” atau barang itu sendiri—korbannya bukan main, status sebagai pelajarlah yang menjadi incaran dari sistem seperti ini—terkadang yang pintar melakukan tindakan-tindakan kolot melebihi orang-orang yang tidak bersekolah dan tidak berendidikan.

Dalam salah satu fakta yang dituliskan oleh Allisa Quart, bahwa di negara yang terkenal dengan sebutan negara adidaya, USA, pengeluaran sekunder anak remaja selama tahun 2000 mencapai 155 milliar dollar AS untuk keperluan pakaian, aksesoris maupun kosmetik. Pada tahun 2000 sampai 2002 sekolah-sekolah di inggris sudah menjadi lapak perdagangan minuman bersoda dan makanan-makanan cepat saji yang telah membaur seperti di Indonesia sekarang. Lihat bagaimana merek-merek makanan seperti ini membuat tawaran awal dengan membagikan buku, pena, dan keperluan sekolah lainnya dengan bungkusan logo dan merek produknya. Sehingga setiap membuka buku, meggunakan pena mereka selalu melihat logo dan symbol dari produk tersebut—ilmu pelajaran terbenam. Kita semua bisa melihat data ini kemudian membandingkannya  dengan keadaan sekolah di Indonesia sekarang, anda akan melihat merek suatu produk terpampang jelas ditembok sekolah maupun buku-buku sekolah. Jadi jangan heran kalau kita sekarang gila merek.

Investasi Jangka Panjang

Pernahkah kita berfikir bahwa kemerdekaan yang diraih Indonesia tahun 1945 merupakan investasi jangka panjang, atau bahkan kita berpikir bahwa sudah cukuplah usaha negara ini berjuang melawan imperialis dan kapitalis sejak bangsa ini diproklamirkan? Tentunya jawaban itu ada dibenak masing-masing. Yang ingin saya kemukakan bahwa dengan kemerdekaan yang telah dicapai oleh Indonesia, ternyata negara ini secara tidak langsung masuk dalam proyek investasi jangka panjang negara-negara kapitalis. Penjajahan tetap berlangsung dalam bidang-bidang yang lainnya. Sistem jajahan dibungkus dengan semenarik mungkin sehingga jajahan itu tidak terlihat nyata. Produk adalah salah satu bentuk penjajahan tersebut.

Sejak awal, negara-negara eks jajahan imperialism, tidak akan bisa langsung terlepas dari imperialism kecuali kalau negara tersebut berani dan tegas. Inipun menjadi salah satu faktor yang memberi keuntungan buat para penjajah untuk melakukan investasi jangka panjang. Produk-produk dengan nama asing dan antaberantah, tiba-tiba menjadi sebutan dan panggilan yang sangat akrab, seakan-akan menjadi icon bagi siapa saja yang ingin dibilang tidak “Jadul”. Tapi apakah kita sadar bahwa proyek ini sudah berjalan puluhan tahun—kita sudah menjadi objek dan sasaran dagang sejak puluhan tahun, tidak kita sadari dan kita hanya menganggap ini adalah buah dari kemajuan zaman.

Coba lihat bagaimana korporasi perdagangan yang mendunia seperti coca-cola, unilever, nokia, yamaha, guess, valentino dan sebagainya, sudah memiliki grand desain ekspansi yang sungguh luar biasa—berpuluh tahun bahkan setengah abad, tanpa kita sadar karena terbuai dengan merek dan produk. Semakin lama dibiarkan, semakin jauhpulalah kita meninggalkan kearifan dan pengetahuan lokal kita terhadap budaya bangsa—pendidikan menjadi salah satu target pemasaran yang sangat empuk dan mengenyangkan. Maka jangan heran generasi ini akan melupakan nama dan tempat kelahiran sendiri.

Sekolah adalah Dunia Pendidikan

Dimana-mana selalu dielukan bahwa salah satu faktor yang dapat menentukan kemajuan suatu bangsa dilihat dari seberapa banyak jumlah orang-orang yang “berpendidikan” di suatu negara tersebut. Apa jadinya kalau instansi pendidikan dijadikan “lapak” untuk berjualan? Tidak heran kalau remaja di negara adidaya seperti Amerika Serikat maupun Inggris pada awal zaman millennium sudah memiliki ketertarikan yang lebih terhadap mode dan berbagai macam produk masakan, tidak lain karena mulai masuknya korporasi global yang menjual produknya ketataran institusi pendidikan—sekolah dijadikan lapak untuk berdagang. Mungkin begitupun dengan Indonesia.

Berbagai macam program yang ditawarkan oleh korporasi global untuk mencari laba. Semua dikaitkan dengan proses dalam pengabdian terhadap masyarakat dan fungsi sosialnya dalam memberikan manfaat bagi masyarakat. Alasan yang tentu saja dapat diterima oleh akal sehat. Hanya saja ketika kita terbuai dengan fasilitas dan tawaran-tawaran sementara itu, tanpa memikirkan bagaimana pola pikiran serta budaya bangsa yang semakin lama terbenam karena masuknya sponsor merek dagangan—kita hanya menjadi sarjana-sarjana yang memiliki prioritas jauh dari ilmu atau pengetahuan yang seharusnya menjadi sasaran utama dalam dunia pendidikan tersebut.

Sudah banyak sekali contoh dan kejadian yang sering kita temui dan lihat di televisi negara ini—televisi komersil, mulai dari kasus anak-anak sekolahan yang memanfaatkan fasilitas alat komunikasi yang berbuntut pada kasus asusila, kasus remaja yang membanggakan salah satu produk fasion kepada temannya yang akhirnya menjadi tindakan criminal, kasus geng motorpun mungkin seperti itu, kasus penyebaran minuman beralkohol di dunia pendidikan dan sebagainya—merupakan salah satu indikasi besar bahwa generasi bangsa ini sedang mengalami shocking mode yang berujung pada dekadensi moral.

Pendidikan yang seharusnya mengenalkan manusia-manusia bangsa ini pada perjuangannya, budayanya, keanekaragaman sumber daya alam dan sumber daya manusianya maupun prestasi bangsa berubah menjadi pendidikan yang berorientasi pada duit dan pembangunan infrastruktur sekolah. Padahal dalam cerita-cerita lama, setiap negara yang bahkan memiliki keterbatasan SDA, melakukan pengembangan SDM terlebih dahulu, baru negara tersebut bisa maju dan bersaing. Kita di Indonesia tampaknya sudah terlena karena negara ini memiliki sumber daya alam yang begitu melimpah dan merata dari sabang sampai merauke.

Pendidikan sendiri tidak bisa dipahami dengan sekedar mempelajari hal-hal konvensional peninggalan nenek dan kakek moyang kita dahulu. Ketika ini kita laksanakan kita akan tertinggal dalam kemajuan global—namun demikian, pendidikan harusnya mempunyai dasar, dasar itulah seperti budaya kita, masyarakat kita, gotong royong kita maupun kearifan lokal yang begitu kaya, dan perkembangan zaman ataupun teknologi adalah tools agar dasar pendidikan tersebut dapat kita ekspansi ke dunia internasional, kita poles sehingga dapat mendatangkan manfaat yang melimpah untuk masyarakat Indonesia sendiri—bukan hanya jadi objek proyekan bangsa lain.

Mulai dari Budaya, Seni dan Karakter Bangsa

Belajar dari sejarah dan pengalaman adalah pelajaran yang paling berharga, kata petuah. Namun sekarang kita seakan-akan melupakan dan mulai memiliki keinginan untuk mengubur pelajaran itu secara perlahan. Lihatlah bangsa-bangsa sekarang di dunia yang memiliki teknologi dan kemajuan pesat, cina, india, singapura, kuba, dan sebagainya, semua negara ini memulai rencana jangka panjang untuk meraih sebuah kata “kemajuan” dengan kembali mendapatkan budaya, seni, maupun karakter awal negara tersebut—semua negara ini memahami betapa pentingnya hal tersebut dalam mewujudkan negara yang lebih baik. Bukankah kitapun memiliki budaya, seni dan karakter itu—kita memiliki nenek moyang, kita punya gotong royong, kita punya toleransi.

Dalam banyak halpun, negara-negara maju lainnya menjadikan budaya, seni dan karakter sebagai pendongkrak semangat dan etos kerja, sehingga budaya, seni maupun karakter mereka bisa kita pahami karena kita hanya menjadi sasaran ekspansi. Orang-orang barat sangat membanggakan budaya maupun seni, sampai-sampai seni dan budaya kitapun menjadi salah satu magnet bagi kedatangan mereka ke Indonesia. Sekarang, bagaimana kita ingin melakukan ekspansi budaya, seni dan karakter kalau kita sendiri tidak mengenalnya.

Dasar pengembangan yang ditanamkan sebelum memanfaatkan tools yaitu teknologi, merek, produk dan sebagainya adalah point-point di atas. Kita tertinggal jauh dari kata pengembangan itu karena kita buta akan budaya itu sendiri—maka jangan heran kalau sering kita dengar istilah, “ke barat-baratan”—tapi kita jarang mendengar kalimat “ketimur-timuran”. Jadilah kita bebek bagi bangsa-bangsa eropa dan asia yang lainnya. Bukankah bagus kalau kita menjadi penggembala bebek eropa dan asia? Kapan lagi kita menemukan pelajar, mahasiswa dan orang-orang tua yang bangga (tidak hanya ucapan) terhadap budaya dan nenek moyangnya kalau tidak sesegera mungkin hal ini kita pelajari dan memiliki kesadaran untuk mengembangkannya

Perubahan Mindset

Perubahan mindset adalah salah satu solusi dalam menentukan langkah selanjutnya agar bangsa ini tidak hanya menjadi bebek dan remaja-remajanya tidak menjadi “gila” karena merek dan mode yang sedang bergentayangan. Mulai dari berubah untuk suatu yang bermanfaat dibanding dengan “gaya”, merubah dari pola pikir konsumtif menjadi produktif dan kontributif, meraih kembali budaya, seni maupun karakter sebagai suatu kebanggaan (bukan dijadikan suatu hal yang konservatif dan memalukan). Ini adalah langkah yang harus direkonstruksi sebagai penyeimbang masuknya arus globalisasi. Mulai menjadikan sekolah sebagai sarana pengenalan maupun pengembangan budaya daerah dan tempat masing-masing, agar orang lain tahu bahwa Indonesia adalah negara kaya, kaya budaya, kaya alamnya, maupun kaya akan sumber daya manusianya.

Buatlah agar negara ini diakui sebagai negara besar, dan pengakuan itu akan lahir dari hal-hal praktis dan kecil. Buatlah negara ini mendapatkan pengakuan yang positif agar negara ini tidak lapuk karena terlalu sering mengikuti kelakuan yang kurang bermanfaat. 

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun