Mohon tunggu...
Muhammad Erza Farandi
Muhammad Erza Farandi Mohon Tunggu... Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta - FDIKOM - Pengembangan masyarakat Islam

Hobi berolahraga

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ringkasan Buku Integrasi Sains dan Agama Bab 5 : Sejarah Ilmu

1 Juli 2025   20:32 Diperbarui: 1 Juli 2025   20:32 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Nama : Muhammad Erza Farandi 

NIM : 12405051050119

Ilmu pengetahuan merupakan salah satu warisan terbesar umat manusia dalam memahami alam semesta dan eksistensinya di dalamnya. Perkembangannya tidak bersifat linier, tetapi melalui proses panjang yang kompleks dan dipengaruhi oleh berbagai faktor budaya, sosial, dan spiritual. Dalam buku "Integrasi Sains dan Agama", Bab 5 berjudul Sejarah Ilmu menguraikan perjalanan evolutif ilmu pengetahuan dari masa paling awal hingga zaman modern. Bab ini menunjukkan bahwa ilmu tidak lahir dari kekosongan, melainkan merupakan hasil akumulasi pengetahuan yang terus mengalami pembaruan dan penyempurnaan. Ringkasan ini bertujuan untuk menggambarkan dinamika perkembangan ilmu dalam enam fase penting: pengetahuan primitif, budaya kuno maju, ilmu Yunani kuno, ilmu di zaman Islam klasik, zaman Eropa modern, dan sekularisasi sains. Dengan memahami sejarah ini, diharapkan kita mampu melihat ilmu tidak hanya sebagai produk rasio, tetapi juga sebagai refleksi dari nilai-nilai kemanusiaan dan spiritualitas.

Pengetahuan Primitif

Pengetahuan primitif adalah bentuk awal dari ilmu pengetahuan yang muncul pada masa prasejarah, ketika manusia mulai berinteraksi dengan lingkungan alam secara langsung. Dalam konteks ini, pengetahuan tidak lahir dari institusi formal atau metode ilmiah modern, melainkan dari pengalaman empiris yang bersifat spontan dan berdasarkan kebutuhan bertahan hidup.

Manusia purba, sebagai makhluk yang hidup sepenuhnya bergantung pada alam, mengamati pola-pola alamiah untuk mengelola kehidupan mereka. Mereka belajar dari fenomena seperti pergantian musim, migrasi hewan, serta pertumbuhan dan kematian tumbuhan. Pengetahuan ini kemudian diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari, seperti berburu, meramu, bertani, dan mengobati penyakit. Pengetahuan tersebut berkembang dari trial and error dan diwariskan secara turun-temurun melalui cerita lisan, simbol, dan praktik budaya.

Masyarakat primitif biasanya tidak memisahkan antara ilmu dan kepercayaan. Segala pengetahuan mereka tercampur dalam sistem mitologi, spiritualitas, dan ritual keagamaan. Misalnya, hujan yang turun dianggap sebagai berkah dari roh leluhur, atau penyakit diyakini sebagai akibat dari pelanggaran terhadap hukum adat atau roh jahat. Dalam konteks ini, dukun atau pemimpin spiritual berperan sebagai penjaga dan pelaku "ilmu pengetahuan" dalam masyarakat. Mereka memahami ramuan obat dari tumbuhan, mengenal pola cuaca, dan memahami perilaku hewan---semua berdasarkan pengamatan mendalam selama generasi.

Ciri khas dari pengetahuan primitif antara lain:

  1. Bersifat empiris dan praktis: Pengetahuan lahir dari pengalaman langsung dan digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
  2. Tidak sistematis: Belum ada metode ilmiah atau kerangka konseptual yang konsisten.
  3. Terintegrasi dengan mitos dan kepercayaan: Sains, agama, dan seni bercampur menjadi satu kesatuan pengetahuan.
  4. Bersifat kolektif dan komunal: Pengetahuan dimiliki dan dikelola oleh komunitas, bukan oleh individu secara eksklusif.
  5. Ditularkan secara lisan: Belum ada sistem tulisan sehingga pengetahuan disampaikan melalui cerita, lagu, atau simbol.

Walaupun terlihat sederhana, pengetahuan primitif merupakan bentuk awal dari sains. Misalnya, dalam mengenali tanaman obat, masyarakat purba menunjukkan intuisi ilmiah: mereka mencatat efek tanaman tertentu terhadap tubuh, menyimpan dan menyebarkan informasi itu, dan kadang menggabungkannya menjadi sistem pengobatan tradisional yang cukup kompleks. Dalam astronomi, mereka memperhatikan pergerakan bintang dan bulan untuk menentukan musim tanam, upacara keagamaan, atau navigasi. Semua ini adalah cikal bakal dari metode observasi ilmiah.

Ilmu pengetahuan modern bahkan masih belajar dari pengetahuan primitif. Antropologi, etnobotani, dan arkeologi terus menemukan nilai ilmiah dalam tradisi masyarakat adat. Misalnya, penelitian modern membuktikan keampuhan berbagai ramuan herbal yang telah lama digunakan oleh masyarakat tradisional. Dalam hal pertanian, praktik rotasi tanaman dan pelestarian benih lokal juga berasal dari kebijaksanaan komunitas primitif.

Dari sisi filsafat ilmu, pengetahuan primitif memperlihatkan bahwa manusia secara naluriah adalah makhluk pencari tahu. Sebelum adanya laboratorium, jurnal ilmiah, dan universitas, manusia sudah menggunakan daya pikir dan pengalaman untuk memahami dunianya. Inilah bentuk awal epistemologi: bagaimana manusia tahu, dari mana pengetahuan itu berasal, dan untuk apa ia digunakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun