Di tengah kondisi ekonomi yang tidak menentu, banyak orang memilih untuk bertahan dalam pekerjaan meski sudah tidak lagi merasa nyaman.Â
Ketakutan akan sulitnya mencari pekerjaan baru, tekanan finansial, serta ketidakpastian masa depan menjadi alasan utama. Wajar saja situasi krisis membuat banyak orang bermain aman dan enggan mengambil risiko.Â
Namun, bertahan bukan selalu berarti pilihan terbaik. Ada kalanya, pekerjaan yang dulu terasa menjanjikan justru menjadi sumber stres, kelelahan, bahkan kehilangan arah hidup.Â
Ketika rutinitas mulai menggerus semangat, dan setiap hari kerja terasa seperti beban, mungkin itu pertanda bahwa sudah saatnya mengevaluasi kembali: apakah bertahan benar-benar pilihan paling bijak?
Dalam kondisi seperti ini, keputusan untuk resign seringkali dianggap gila terutama saat dunia sedang tidak stabil. Tapi bagaimana jika justru keputusan berani itulah yang membuka jalan menuju hidup yang lebih berarti?
Mengakui Ketidakbahagiaan adalah Langkah Awal
Tidak semua orang berani mengakui bahwa mereka tidak lagi bahagia dengan pekerjaannya. Banyak yang memilih diam, pura-pura kuat, dan terus menjalani hari demi hari dengan beban yang semakin berat.Â
Rasa takut dianggap lemah, takut dicap tidak bersyukur, atau takut kehilangan penghasilan membuat mereka menahan diri. Padahal, diam-diam mereka merasa lelah, kehilangan motivasi, dan tidak lagi merasakan makna dari apa yang dikerjakan.
Bahaya dari kondisi ini bukan hanya berdampak pada performa kerja, tapi juga kesehatan mental dan fisik. Rasa tertekan yang dibiarkan terus-menerus bisa memicu stres berkepanjangan, gangguan tidur, bahkan burnout.Â
Sayangnya, banyak yang memilih bertahan karena merasa tidak punya pilihan lain padahal selalu ada pilihan, bahkan di tengah krisis.