Generasi Z, yang lahir antara pertengahan 1990-an hingga awal 2010-an, dikenal sebagai generasi digital native tumbuh dan berkembang seiring dengan pesatnya teknologi.Â
Sejak kecil mereka sudah akrab dengan internet, smartphone, media sosial, dan berbagai platform digital lainnya. Tidak mengherankan jika kemampuan mereka dalam beradaptasi dengan teknologi dianggap sebagai keunggulan utama dibanding generasi sebelumnya.
Mereka terbiasa belajar secara mandiri melalui YouTube, kursus daring, dan berbagai forum online. Banyak di antara mereka yang sudah menguasai keterampilan seperti desain grafis, pemrograman, hingga pemasaran digital bahkan sebelum lulus sekolah.Â
Dunia maya telah menjadi ladang eksplorasi, tempat mereka membangun jejaring, mengekspresikan diri, sekaligus mencari peluang.
Namun, realita tidak selalu seindah harapan. Meskipun secara teknis mereka sangat kompeten, kenyataannya banyak Gen Z yang masih kesulitan mendapatkan pekerjaan tetap.Â
Angka Pengangguran yang Mengkhawatirkan
Beberapa survei dan data dari berbagai negara menunjukkan tren meningkatnya pengangguran di kalangan Gen Z.Â
Di Indonesia misalnya, data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun-tahun terakhir menunjukkan bahwa kelompok usia muda, khususnya 15-24 tahun, memiliki tingkat pengangguran terbuka tertinggi dibanding kelompok usia lainnya.Â
Fenomena serupa juga terjadi di banyak negara, baik maju maupun berkembang. Meskipun memiliki akses pendidikan yang lebih baik dan kemampuan teknologi yang tinggi, banyak dari mereka yang tidak berhasil memasuki pasar kerja formal.
Salah satu faktor yang memengaruhi adalah ketidaksesuaian antara latar belakang pendidikan dengan kebutuhan industri.Â