Mohon tunggu...
Muhammad Dahron
Muhammad Dahron Mohon Tunggu... Penulis

Saya menjadi penulis sejak tahun 2019, pernah bekerja sebagai freelancer penulis artikel di berbagai platform online, saya lulusan S1 Teknik Informatika di Universitas Serambi Mekkah Banda Aceh Tahun 2012.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Kenapa Gen Z Sering Tersandung di Interview, Padahal Kompeten?

6 April 2025   13:08 Diperbarui: 8 April 2025   15:18 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi proses interview saat melamar pekerjaan (sumber gambar: sisiplus.katadata.co.id)

"Gen Z, generasi yang lahir di era digital dan tumbuh bersama teknologi, dikenal sebagai generasi yang cepat belajar, adaptif, dan kreatif."

Mereka terbiasa mengakses informasi dengan cepat, multitasking di berbagai platform, dan memiliki perspektif global sejak usia muda. Banyak dari mereka sudah terbiasa dengan kerja proyek, freelance, bahkan membangun personal brand sejak remaja. 

Dengan modal itu, tak heran jika Gen Z dianggap punya potensi besar untuk bersaing di dunia kerja modern. Namun, ketika proses seleksi kerja dimulai, terutama di tahap interview, tantangan mulai muncul. 

Banyak rekruter melaporkan bahwa meskipun Gen Z unggul secara teknis, mereka justru kesulitan mengekspresikan diri, menjawab pertanyaan dengan tepat, atau memahami dinamika komunikasi saat interview. 

Kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar: kenapa Gen Z yang sebenarnya kompeten justru sering tersandung di tahap interview?

1. Kurangnya Soft Skill Latihan

Banyak Gen Z lebih terbiasa berinteraksi lewat layar. Komunikasi via chat, email, atau DM membuat mereka cakap menyampaikan ide secara tertulis, namun ketika harus berbicara langsung terutama dalam suasana formal seperti interview tantangannya jadi berbeda. 

Tatap muka membutuhkan ekspresi nonverbal, kepercayaan diri, dan kemampuan membangun koneksi dalam waktu singkat. Sayangnya, ini bukan kemampuan yang otomatis terbentuk hanya karena sering berkomunikasi di dunia digital.

Akibatnya, banyak dari mereka yang terlihat ragu-ragu, tidak lugas saat menjawab pertanyaan, atau bahkan terlalu fokus mencari kata-kata yang “benar” sehingga terkesan tidak natural. 

2. Tidak Paham Ekspektasi HRD

Sering kali Gen Z menjawab pertanyaan dengan jujur, bahkan terlalu jujur. Misalnya, saat ditanya alasan ingin pindah kerja atau kenapa sempat menganggur, jawaban seperti “karena bosan,” “lagi healing,” atau “nggak cocok sama atasan lama” bisa keluar tanpa disaring terlebih dulu. 

Kejujuran ini sebenarnya bukan hal yang buruk bahkan bisa jadi nilai plus dalam budaya kerja tertentu tapi dalam konteks interview yang masih kental dengan ekspektasi formal, hal-hal seperti ini bisa dianggap kurang bijak.

Masalahnya bukan pada isi jawabannya saja, tapi pada cara menyampaikannya. Pewawancara mencari kandidat yang bisa menyampaikan pendapat dengan dewasa, diplomatis, dan tetap profesional, tanpa harus mengorbankan kejujuran. 

3. Overthinking dan Impostor Syndrome

Gen Z sering merasa bahwa mereka harus perfect sebelum melamar kerja. Banyak dari mereka merasa belum cukup “pantas” kalau belum memenuhi semua kualifikasi di lowongan, belum punya pengalaman kerja yang ideal, atau belum percaya diri dengan cara mereka menjual diri.

Akibatnya, ketika akhirnya mereka lolos ke tahap interview, tekanan justru makin besar karena mereka merasa harus membuktikan diri habis-habisan.

Rasa tidak cukup ini sering berakar dari impostor syndrome, perasaan bahwa kesuksesan yang mereka raih hanyalah kebetulan dan mereka sebenarnya belum layak. 

Di ruang interview, ini bisa terlihat dari bahasa tubuh yang ragu, suara yang pelan, atau jawaban yang terlalu merendah. Padahal, pewawancara ingin melihat kandidat yang yakin dengan dirinya sendiri, bahkan jika mereka belum sempurna.

4. Kurang Latihan Interview

Meskipun banyak informasi tersedia online, tidak semua Gen Z sempat atau tahu cara memanfaatkannya dengan maksimal. 

Ada ribuan video tips interview di YouTube, ratusan template jawaban di internet, bahkan simulasi interview dengan AI. Tapi informasi yang melimpah ini kadang justru bikin bingung mana yang harus diikuti, mana yang cocok, dan mana yang terlalu generik.

Sebagian Gen Z terlalu fokus pada aspek teknis mempersiapkan CV yang rapi, portofolio yang estetik, atau belajar tools yang dibutuhkan untuk kerja namun lupa bahwa interview juga butuh latihan interpersonal. 

Mereka jarang meluangkan waktu untuk roleplay interview, melatih intonasi bicara, atau menyusun narasi diri yang kuat. Akibatnya, saat berhadapan dengan pertanyaan seperti, “Ceritakan tentang dirimu,” mereka bisa blank atau menjawab terlalu panjang tanpa arah yang jelas.

5. Kultur Kerja yang Masih “Asing”

Beberapa Gen Z terbiasa dengan sistem kerja fleksibel, remote, dan komunikasi informal. Mereka tumbuh di era saat kerja bisa dilakukan dari mana saja, dengan atasan yang bisa diajak ngobrol santai lewat chat, dan budaya kerja yang lebih egaliter. 

Gaya kerja ini membuat mereka nyaman, merasa lebih bebas berekspresi, dan tidak terlalu kaku dalam berkomunikasi. Tapi ketika harus menghadapi interview di perusahaan yang masih menganut budaya kerja konvensional yang formal, hierarkis, dan menuntut “sopan santun” tertentu benturan bisa terjadi. 

Misalnya, cara berpakaian, gaya bahasa yang terlalu santai, atau sikap tubuh yang dianggap terlalu “casual” bisa disalahartikan sebagai tidak profesional. Padahal, bukan karena mereka tidak serius, tapi karena belum terbiasa menyesuaikan diri dengan ekspektasi budaya kerja yang berbeda.

Perbedaan ekspektasi ini sering kali tidak dibicarakan secara terbuka, sehingga Gen Z merasa tidak cocok, sementara HRD merasa kandidat kurang siap. Di sinilah pentingnya memahami bahwa interview bukan hanya soal isi, tapi juga soal adaptasi terhadap konteks. 

Jadi, Apa Solusinya?

Pertama, penting bagi Gen Z untuk mulai melihat interview sebagai skill yang bisa dipelajari, bukan sekadar “ajang penilaian.” Sama seperti belajar software atau bikin portofolio, interview juga butuh latihan rutin. 

Cobalah melakukan simulasi dengan teman, mentor, atau bahkan lewat platform online. Bukan untuk menghafal jawaban, tapi untuk melatih respons spontan dan membangun kepercayaan diri.

Kedua, pelajari budaya dan gaya komunikasi perusahaan yang dituju. Setiap tempat kerja punya vibe yang berbeda ada yang santai, ada yang sangat formal. Mencari tahu lebih dulu akan membantu menyesuaikan cara berpakaian, menjawab pertanyaan, hingga memilih bahasa tubuh yang tepat saat interview berlangsung.

Ketiga, jangan ragu untuk merancang cerita pribadi. Cerita yang kuat, jujur, dan relevan bisa membuat kandidat lebih menonjol. Alih-alih hanya menyebutkan skill, coba beri contoh nyata: apa yang sudah dilakukan, tantangan yang pernah dihadapi, dan bagaimana cara menyelesaikannya. Ini akan menunjukkan karakter dan kompetensi secara lebih hidup.

Terakhir, penting untuk mengubah mindset. Interview bukan sekadar kamu diuji tapi juga kesempatan untuk mengenal calon tempat kerja. Kamu juga punya hak untuk bertanya, mengevaluasi, dan memastikan apakah tempat itu cocok untukmu. Dengan pendekatan ini, proses interview bisa jadi lebih setara, lebih santai, dan tidak terlalu menekan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun