Sering kali Gen Z menjawab pertanyaan dengan jujur, bahkan terlalu jujur. Misalnya, saat ditanya alasan ingin pindah kerja atau kenapa sempat menganggur, jawaban seperti “karena bosan,” “lagi healing,” atau “nggak cocok sama atasan lama” bisa keluar tanpa disaring terlebih dulu.
Kejujuran ini sebenarnya bukan hal yang buruk bahkan bisa jadi nilai plus dalam budaya kerja tertentu tapi dalam konteks interview yang masih kental dengan ekspektasi formal, hal-hal seperti ini bisa dianggap kurang bijak.
Masalahnya bukan pada isi jawabannya saja, tapi pada cara menyampaikannya. Pewawancara mencari kandidat yang bisa menyampaikan pendapat dengan dewasa, diplomatis, dan tetap profesional, tanpa harus mengorbankan kejujuran.
3. Overthinking dan Impostor Syndrome
Gen Z sering merasa bahwa mereka harus perfect sebelum melamar kerja. Banyak dari mereka merasa belum cukup “pantas” kalau belum memenuhi semua kualifikasi di lowongan, belum punya pengalaman kerja yang ideal, atau belum percaya diri dengan cara mereka menjual diri.
Akibatnya, ketika akhirnya mereka lolos ke tahap interview, tekanan justru makin besar karena mereka merasa harus membuktikan diri habis-habisan.
Rasa tidak cukup ini sering berakar dari impostor syndrome, perasaan bahwa kesuksesan yang mereka raih hanyalah kebetulan dan mereka sebenarnya belum layak.
Di ruang interview, ini bisa terlihat dari bahasa tubuh yang ragu, suara yang pelan, atau jawaban yang terlalu merendah. Padahal, pewawancara ingin melihat kandidat yang yakin dengan dirinya sendiri, bahkan jika mereka belum sempurna.
4. Kurang Latihan Interview
Meskipun banyak informasi tersedia online, tidak semua Gen Z sempat atau tahu cara memanfaatkannya dengan maksimal.
Ada ribuan video tips interview di YouTube, ratusan template jawaban di internet, bahkan simulasi interview dengan AI. Tapi informasi yang melimpah ini kadang justru bikin bingung mana yang harus diikuti, mana yang cocok, dan mana yang terlalu generik.