Tak ada pengumuman. Tak ada pidato penuh gegap gempita dari balkon istana. Tak ada telegram yang dikirim ke semua kedutaan besar, menyatakan dunia sedang terbakar.
Namun setiap hari, kita menyaksikan langit merah di Gaza, sirene panjang di Ukraina, bom yang menghantam ladang minyak Iran, dan kapal perang yang menyusuri Laut China Selatan. Kita hidup dalam serpihan konflik yang tak disebut perang, namun merenggut nyawa ribuan manusia dalam senyap.
Maka pertanyaannya bergema: sudahkah kita masuk ke dalam era Perang Dunia Ketiga?
Sejarah mencatat bahwa dua perang dunia terdahulu tak dimulai sebagai "perang dunia". Keduanya lahir dari regionalisme yang membusuk, dari aliansi militer yang menegang, dari nasionalisme yang menjelma fanatisme. Perang Dunia I bermula di Sarajevo, dari peluru tunggal yang meledakkan sistem aliansi Eropa. Perang Dunia II tumbuh dari tanah Versailles yang gagal menyembuhkan dendam Jerman.
Hari ini, peta dunia tak lebih stabil dari tahun 1939.
Perang di Ukraina telah berlangsung lebih dari tiga tahun, dengan Rusia tak hanya menantang Kyiv, tapi juga NATO, Uni Eropa, dan tatanan pasca-Perang Dingin. Iran dan Israel, dua musuh bebuyutan di Timur Tengah, kini telah berhadapan langsung pada pertengahan Juni 2025, tanpa lagi menyembunyikan permusuhan lewat proksi.
Beberapa tokoh dan analis tak ragu menyebut situasi ini sebagai fase awal Perang Dunia Ketiga.
Henry Kissinger, mendiang arsitek diplomasi global, pernah memperingatkan bahwa benturan antara China, Rusia, dan Barat bisa memantik perang besar jika tak dikelola dengan hati-hati. George Friedman, pendiri Stratfor, menulis dalam The Next 100 Years bahwa benturan geopolitik besar tak bisa dihindari, dan bahwa Eurasia akan kembali menjadi panggung utama sejarah berdarah.
Sementara itu, Pope Francis menyebut sejak 2015 bahwa dunia sedang mengalami "World War III in pieces"---sebuah perang dunia dalam potongan-potongan, tersebar di banyak tempat, terjadi terus-menerus, tanpa deklarasi resmi.
Tanda-tanda teknisnya pun tak bisa diabaikan.
Menurut data SIPRI (Stockholm International Peace Research Institute), anggaran militer global pada 2024 mencapai rekor tertinggi: $2,44 triliun. Amerika Serikat dan China menyumbang hampir separuhnya. Rusia meningkatkan produksi misil hipersonik, dan Israel, dalam konfrontasinya dengan Iran, mulai menggerakkan persenjataan strategis yang sebelumnya hanya disimpan untuk ancaman eksistensial.
NATO memperluas pengaruh ke Swedia dan Finlandia. China memperkuat klaim di Laut China Selatan dan meningkatkan tekanan ke Taiwan. Dan Iran, dengan jaringan proksi dari Yaman hingga Lebanon, telah menjadikan Timur Tengah sebagai teater tempur paling rumit dalam sejarah modern.
Namun tidak semua sependapat bahwa ini sudah bisa disebut Perang Dunia Ketiga.
Yuval Noah Harari, sejarawan asal Israel, menyatakan bahwa belum ada satu front terpadu atau struktur aliansi yang menyamai skala dua perang dunia sebelumnya. "Selama konflik masih bersifat lokal atau regional, dan belum menarik keterlibatan militer langsung dari seluruh kekuatan besar, kita belum benar-benar memasuki Perang Dunia Ketiga," katanya dalam wawancara tahun 2024.
Senada dengan itu, Joseph Nye, pencetus konsep soft power, menyebut konflik global saat ini lebih mirip Perang Dingin yang baru---perang ide, ekonomi, dan teknologi---ketimbang perang total dengan jutaan korban di garis depan.
Namun siapa yang bisa menjamin bahwa setiap percikan kecil tak menjelma ledakan besar?
Ketika misil Israel menembus pangkalan Iran, ketika Iran membalas dengan ratusan rudal, dan Amerika memperkuat armadanya di Mediterania, dunia terasa hanya selangkah dari jerat aliansi seperti tahun 1914. Ketika Taiwan diganggu oleh patroli udara China, dan Jepang mulai mempersiapkan darurat militer, bayang-bayang perang di Pasifik muncul kembali.
Mungkin yang berbeda hanyalah bentuk dan teknologi.
Perang hari ini tak selalu membutuhkan serdadu. Ia bisa dimulai dari sabotase pabrik chip di Taiwan, atau pemutusan kabel data bawah laut yang menghubungkan bursa saham di tiga benua. Ia bisa datang lewat sanksi ekonomi yang mematikan seperti bom, atau lewat drone yang melintas tanpa suara di atas kamp pengungsi.
Perang dunia tak lagi menunggu pidato di parlemen. Ia cukup ditandai dengan anjloknya pasar global, lumpuhnya jaringan internet, atau ledakan reaktor di Natanz yang "tidak disengaja".
Jadi, sudahkah kita masuk era Perang Dunia Ketiga?
Mungkin belum---jika kita hanya melihat perang sebagai peristiwa resmi dalam buku sejarah. Tapi jika kita melihat perang sebagai gejala besar: tentang perubahan struktur dunia, tentang pergeseran paksa kekuatan global, tentang hilangnya kemampuan diplomasi, dan tentang meningkatnya konflik bersenjata antarnegara besar---maka jawabannya: ya, kita telah memasukinya, diam-diam, sepotong demi sepotong.
Kita tak tahu bagaimana lembar pertama dari Perang Dunia Ketiga akan dikenang. Tapi kita tahu satu hal: dunia hari ini terlalu tegang, terlalu terbagi, dan terlalu bersenjata untuk disebut damai.
Dan barangkali, seperti dua perang dunia sebelumnya, kita baru akan sadar setelah terlambat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI