Menurut data SIPRI (Stockholm International Peace Research Institute), anggaran militer global pada 2024 mencapai rekor tertinggi: $2,44 triliun. Amerika Serikat dan China menyumbang hampir separuhnya. Rusia meningkatkan produksi misil hipersonik, dan Israel, dalam konfrontasinya dengan Iran, mulai menggerakkan persenjataan strategis yang sebelumnya hanya disimpan untuk ancaman eksistensial.
NATO memperluas pengaruh ke Swedia dan Finlandia. China memperkuat klaim di Laut China Selatan dan meningkatkan tekanan ke Taiwan. Dan Iran, dengan jaringan proksi dari Yaman hingga Lebanon, telah menjadikan Timur Tengah sebagai teater tempur paling rumit dalam sejarah modern.
Namun tidak semua sependapat bahwa ini sudah bisa disebut Perang Dunia Ketiga.
Yuval Noah Harari, sejarawan asal Israel, menyatakan bahwa belum ada satu front terpadu atau struktur aliansi yang menyamai skala dua perang dunia sebelumnya. "Selama konflik masih bersifat lokal atau regional, dan belum menarik keterlibatan militer langsung dari seluruh kekuatan besar, kita belum benar-benar memasuki Perang Dunia Ketiga," katanya dalam wawancara tahun 2024.
Senada dengan itu, Joseph Nye, pencetus konsep soft power, menyebut konflik global saat ini lebih mirip Perang Dingin yang baru---perang ide, ekonomi, dan teknologi---ketimbang perang total dengan jutaan korban di garis depan.
Namun siapa yang bisa menjamin bahwa setiap percikan kecil tak menjelma ledakan besar?
Ketika misil Israel menembus pangkalan Iran, ketika Iran membalas dengan ratusan rudal, dan Amerika memperkuat armadanya di Mediterania, dunia terasa hanya selangkah dari jerat aliansi seperti tahun 1914. Ketika Taiwan diganggu oleh patroli udara China, dan Jepang mulai mempersiapkan darurat militer, bayang-bayang perang di Pasifik muncul kembali.
Mungkin yang berbeda hanyalah bentuk dan teknologi.
Perang hari ini tak selalu membutuhkan serdadu. Ia bisa dimulai dari sabotase pabrik chip di Taiwan, atau pemutusan kabel data bawah laut yang menghubungkan bursa saham di tiga benua. Ia bisa datang lewat sanksi ekonomi yang mematikan seperti bom, atau lewat drone yang melintas tanpa suara di atas kamp pengungsi.
Perang dunia tak lagi menunggu pidato di parlemen. Ia cukup ditandai dengan anjloknya pasar global, lumpuhnya jaringan internet, atau ledakan reaktor di Natanz yang "tidak disengaja".
Jadi, sudahkah kita masuk era Perang Dunia Ketiga?