Oleh: Muhammad Amin Alfazli, ST
Pendidikan sering digadang-gadang sebagai pilar utama dalam membangun peradaban bangsa. Di Indonesia, amanat UUD 1945 Pasal 31 telah menegaskan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan yang layak. Namun, hingga kini, kualitas dan pemerataan pendidikan masih menjadi persoalan mendasar yang terus menghantui negeri ini. Di tengah gemuruh jargon "Merdeka Belajar" dan revolusi digital, masih banyak anak bangsa yang tertinggal dalam ruang-ruang kelas yang reyot, dengan akses belajar yang jauh dari ideal.
Kesenjangan Akses dan Kualitas
Permasalahan pendidikan di Indonesia tak hanya soal kurikulum atau metode belajar, namun juga menyentuh akar persoalan kesenjangan. Di kota-kota besar, sekolah bertaraf internasional dengan fasilitas canggih tumbuh pesat, sementara di pelosok negeri, banyak sekolah yang bahkan tidak memiliki bangku dan papan tulis yang layak.
Fakta dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa ketimpangan mutu pendidikan antara wilayah barat dan timur Indonesia masih sangat mencolok. Di Papua dan Nusa Tenggara Timur, misalnya, angka partisipasi sekolah (APS) pada jenjang SMA masih jauh di bawah rata-rata nasional. Anak-anak di daerah terpencil harus menempuh puluhan kilometer, menyeberangi sungai, bahkan mendaki bukit hanya untuk sampai ke sekolah.
Kualitas Guru yang Belum Merata
Sumber daya pendidik menjadi jantung dari sistem pendidikan. Namun, pemerataan kualitas guru masih menjadi pekerjaan rumah besar. Di daerah terpencil, banyak guru yang mengajar di luar bidang keahliannya, atau bahkan belum memenuhi kualifikasi akademik yang memadai. Pelatihan berkelanjutan dan pemerataan penempatan guru masih belum efektif.
Hal ini berdampak pada proses belajar mengajar yang tidak maksimal. Kesenjangan antara guru di kota dan di desa tak hanya terletak pada kemampuan pedagogik, tapi juga pada motivasi dan dukungan yang diterima. Belum lagi tantangan kesejahteraan yang membuat sebagian guru mengajar lebih karena keterpaksaan daripada panggilan jiwa.
Ketergantungan pada Ujian dan Minimnya Literasi
Sistem pendidikan kita masih cenderung menitikberatkan pada pencapaian nilai akademik semata. Paradigma "lulus ujian = berhasil" masih sangat kuat. Akibatnya, proses belajar menjadi mekanistik, minim eksplorasi, dan hanya berorientasi pada hasil, bukan proses.