Mohon tunggu...
Muhammad Isnaini
Muhammad Isnaini Mohon Tunggu... Dosen

Membaca dan menulis adalah Dua sisi dari satu koin: membaca memperkaya wawasan, sementara menulis mengolah dan menyampaikan wawasan tersebut. Keduanya membangun dialog tak berujung antara pikiran dan dunia.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Evaluasi Makan Gratis Bergizi (MBG): Dampaknya terhadap Pengurangan Stunting dan Peningkatan Gizi Anak (Bag 1)

28 September 2025   22:20 Diperbarui: 28 September 2025   22:15 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto disadur dari infobanknews

Foto di sadur dari JPNN.Com
Foto di sadur dari JPNN.Com
Latar Belakang

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) diluncurkan oleh pemerintah sebagai sebuah inisiatif strategis untuk menjawab tantangan gizi dan mempersiapkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang unggul menuju Indonesia Emas 2045. Program ini berangkat dari keprihatinan terhadap kondisi dimana sekitar 60% anak-anak dari kalangan keluarga miskin dan rentan miskin tidak memiliki akses yang baik terhadap makanan dengan gizi seimbang. Data Badan Gizi Nasional (BGN) menunjukkan bahwa masalah gizi di Indonesia bersifat kompleks, ditandai dengan Triple Burden of Malnutrition, yaitu kondisi undernutrition (gizi kurang), overnutrition (gizi lebih/obesitas), dan micronutrient deficiency (kekurangan zat gizi mikro) yang terjadi secara bersamaan.

Di satu sisi, prevalensi stunting menunjukkan tren penurunan yang positif, dari 21,5% pada 2023 menjadi 14,8% di 2024. Namun, di sisi lain, program yang bertujuan memutus mata rantai masalah gizi ini menghadapi ujian besar dalam implementasinya. Program yang menargetkan 82,9 juta penerima manfaat (mencakup ibu hamil, ibu menyusui, balita, serta seluruh anak sekolah dari PAUD hingga SMA/sederajat) dan didukung anggaran sangat besar, yaitu Rp 71 triliun pada 2025 yang rencananya akan ditingkatkan menjadi Rp 335 triliun pada 2026, menuai sorotan tajam.

Sorotan ini terutama muncul akibat merebaknya kasus keracunan massal yang dialami oleh peserta didik. Catatan berbagai lembaga menunjukkan jumlah korban yang mengkhawatirkan. Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat 6.452 kasus keracunan di 18 provinsi hingga September 2025, sementara BBC Indonesia melaporkan 5.626 kasus yang tersebar di 16 provinsi, dengan insiden besar terjadi di Banggai Kepulauan (300+ anak) dan Garut (569 anak). Kejadian-kejadian ini memunculkan pertanyaan kritis tentang akuntabilitas, tata kelola, dan kualitas pengawasan program.

Kesenjangan antara tujuan mulia dan realita di lapangan inilah yang melatarbelakangi pentingnya evaluasi menyeluruh. Program yang dirancang untuk memenuhi 25-35% kebutuhan gizi harian anak dan menggerakkan perekonomian lokal melalui Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) ini, dianggap oleh sebagian pengamat seperti Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji, lebih fokus pada pencapaian target kuantitatif dan populisme daripada kualitas gizi dan keselamatan anak. Oleh karena itu, evaluasi tidak hanya penting untuk menyelamatkan nyawa dan kesehatan anak-anak, tetapi juga untuk memastikan bahwa investasi besar-besaran ini benar-benar menjadi fondasi yang kokoh bagi terwujudnya Generasi Emas Indonesia 2045. Untuk memberikan gambaran yang ringkas, lihat tabel berikut :

Aspek

Dampak/Temuan Positif

Tantangan/Masalah yang Dihadapi

Kesehatan & Gizi

Peningkatan Indeks Massa Tubuh (IMT) anak di beberapa daerah (contoh: Kota Bogor, Aceh). Penurunan prevalensi stunting dari 21.5% (2023) menjadi 14.8% (2024).

Ribuan kasus keracunan makanan tercatat (contoh: 569 anak di Garut, 300+ anak di Banggai Kepulauan) . Keluhan tentang makanan basi, tidak higienis, dan menu tidak variatif.

Cakupan & Anggaran

Menjangkau 25 juta penerima manfaat dengan target 82 juta orang. Anggaran sebesar Rp 71 triliun (2025) hingga Rp 335 triliun (2026).

Sasaran dinilai tidak tepat, cenderung di daerah perkotaan daripada daerah yang paling membutuhkan.

Tata Kelola & Pengawasan

Adanya komitmen untuk membangun SPPG dan sistem pengawasan. Pelatihan untuk penjamah makanan oleh BPOM.

Lemahnya mekanisme transparansi dan akuntabilitas. Pengadaan yang berorientasi harga terendah mengorbankan kualitas. Keterlambatan distribusi menyebabkan penuruna

Bagian 1: Metodologi dan Kerangka Evaluasi

Evaluasi yang komprehensif terhadap Program Makan Bergizi Gratis (MBG) memerlukan pendekatan yang terstruktur dan sumber data yang terpercaya. Bagian ini menjelaskan kerangka logis yang digunakan untuk menganalisis program serta berbagai sumber data yang akan dijadikan dasar penilaian.

1.1. Pendekatan Evaluasi: Kerangka Logis IPO-OI

Evaluasi ini akan menggunakan kerangka logis Input -- Proses -- Output -- Outcome -- Impact (IPO-OI). Kerangka ini bukan hanya alat evaluasi, tetapi juga fondasi berpikir yang memungkinkan analisis dilakukan secara sistematis dan menyeluruh, dari level aktivitas paling dasar hingga dampak jangka panjang yang diharapkan.

Mengapa Kerangka IPO-OI Relevan untuk Program MBG?
Kerangka ini sangat cocok untuk mengevaluasi program skala besar seperti MBG karena membantu mengidentifikasi titik masalah secara akurat (apakah pada level sumber daya, pelaksanaan, atau hasil), mengukur kinerja secara komprehensif, dan membangun akuntabilitas yang jelas kepada publik. Berikut adalah penjabaran penerapannya:

Input (Masukan): Sumber daya yang dialokasikan untuk program MBG. Ini termasuk anggaran (seperti pagu APBN sebesar Rp 71 triliun untuk tahun 2025), sumber daya manusia (petugas di Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi/SPPG), regulasi, serta bahan baku makanan.

Proses: Segala aktivitas operasional untuk mengubah input menjadi output. Tahap ini mencakup proses pengadaan makanan, distribusi, penyiapan di SPPG, serta mekanisme pengawasan yang dijalankan . Tantangan dalam proses, seperti keragaman menu dan jaminan keamanan pangan, akan dianalisis di sini.

Output (Keluaran Langsung): Hasil langsung yang terukur dari aktivitas proses. Contohnya adalah jumlah penerima manfaat (22.7 juta per September 2025) dan jumlah SPPG yang beroperasi (7.644 unit).

Outcome (Hasil): Perubahan atau manfaat jangka menengah yang dirasakan penerima manfaat setelah menerima output. Ini merupakan tujuan utama program, seperti perbaikan status gizi anak (misalnya, peningkatan skor Body Mass Index-for-Age Z-score/BAZ) dan peningkatan pengetahuan anak tentang pola makan bergizi seimbang.

Impact (Dampak Jangka Panjang): Dampak strategis dan luas yang diharapkan dari program. Untuk MBG, dampak utamanya adalah kontribusi terhadap penurunan prevalensi stunting secara nasional dan terwujudnya generasi yang sehat, cerdas, dan berdaya saing.

1.2. Sumber Data untuk Analisis

Untuk memastikan evaluasi berbasis bukti, analisis akan bersumber pada data-data berikut:

  • Data Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) dari Kemenkes: Data ini menjadi indikator kunci untuk mengukur dampak (impact) program MBG, khususnya dalam hal penurunan stunting dan perbaikan status gizi masyarakat. Tren data SSGI sebelum dan setelah implementasi MBG akan dianalisis.
  • Laporan Keuangan dan Capaian Kinerja Kementerian/Lembaga: Laporan realisasi anggaran dari Kementerian Keuangan (seperti laporan yang mencatat serapan anggaran MBG mencapai Rp 13 triliun) serta laporan capaian kinerja dari Badan Gizi Nasional (BGN) akan dianalisis untuk menilai efisiensi penggunaan input dan pencapaian output.
  • Studi Lapangan atau Laporan Independen dari Lembaga Riset: Lembaga seperti Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI) telah menghasilkan kajian khusus yang menyoroti tantangan tata kelola, keamanan pangan, serta sistem monitoring dan evaluasi program MBG. Masukan dari lembaga independen seperti SMERU Research Institute juga akan menjadi rujukan berharga untuk analisis yang objektif.
  • Pemberitaan Media mengenai Implementasi di Daerah: Pemberitaan media berfungsi sebagai cermin implementasi di lapangan, yang seringkali mengungkap tantangan proses yang tidak tercatat dalam laporan formal, seperti keluhan tentang kualitas makanan atau kendala distribusi di daerah tertentu.

Dengan kombinasi kerangka IPO-OI dan sumber data yang beragam ini, evaluasi diharapkan dapat memberikan gambaran yang utuh, objektif, dan mendalam mengenai efektivitas Program MBG.

Bagian 2: Analisis Dampak: Mencermati Angka dan Realita

Evaluasi dampak Program Makan Bergizi Gratis (MBG) memerlukan analisis yang komprehensif, tidak hanya terhadap tren stunting nasional tetapi juga terhadap indikator gizi lainnya. Bagian ini akan menguraikan pencapaian program berdasarkan data survei terkini dan pendapat para ahli di bidang gizi.

2.1. Tren Prevalensi Stunting Nasional dan Capaian di Daerah Implementasi MBG

Secara nasional, Indonesia menunjukkan kemajuan yang signifikan dalam penurunan prevalensi stunting. Berdasarkan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI), prevalensi stunting nasional turun dari 21,5% pada tahun 2023 menjadi 19,8% di tahun 2024. Capaian ini bahkan melampaui target pemerintah untuk tahun 2024 yang sebesar 20,1%. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengapresiasi capaian ini namun mengingatkan bahwa target berikutnya, yaitu 18,8% pada tahun 2025, memerlukan upaya yang lebih keras dan kolaborasi yang lebih erat.

Meski tren nasional menggembirakan, analisis dampak MBG menjadi lebih bermakna ketika dilihat pada tingkat daerah. Terdapat disparitas yang tinggi antarprovinsi. Sebagai contoh, Bali berhasil mencapai prevalensi stunting terendah sebesar 8,6%, sementara Nusa Tenggara Timur (NTT) masih menghadapi angka yang sangat tinggi, yaitu 37%. Fokus program MBG di daerah-daerah dengan beban stunting tinggi menjadi kunci. Menteri Kesehatan menegaskan bahwa sekitar 50% dari total balita stunting di Indonesia terkonsentrasi di enam provinsi, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, Nusa Tenggara Timur, dan Banten. Oleh karena itu, percepatan penurunan stunting secara nasional sangat bergantung pada keberhasilan intervensi di keenam provinsi ini.

Bukti awal dampak positif MBG dilaporkan oleh Dewan Pakar Bidang Gizi Badan Gizi Nasional (BGN), Ikeu Tanziha. Ia menyatakan bahwa hasil pemantauan di sejumlah daerah penerima manfaat, seperti Kota Bogor dan Aceh, menunjukkan adanya peningkatan Indeks Massa Tubuh (IMT) pada anak-anak setelah 15 minggu pelaksanaan program. IMT adalah ukuran penting untuk menilai status gizi seseorang. Temuan ini mengindikasikan bahwa intervensi pemberian makanan bergizi secara langsung mulai memberikan efek yang terukur pada perbaikan status gizi anak di daerah intervensi.

2.2.  Dampak Program MBG pada Indikator Gizi Lainnya: Wasting dan Anemia

Penting untuk menilai apakah manfaat MBG melampaui penanganan stunting dan juga berdampak pada masalah gizi lainnya. Indonesia masih menghadapi Tiga Beban Gizi (Triple Burden of Malnutrition), yaitu kondisi undernutrition (gizi kurang), overnutrition (gizi lebih/obesitas), dan micronutrient deficiency (kekurangan zat gizi mikro) yang terjadi secara bersamaan.
Data dari BGN menunjukkan bahwa prevalensi wasting (gizi akut) pada anak juga mengalami penurunan, dari 8,5% pada 2023 menjadi 7,4% di 2024.

Penurunan ini merupakan kabar baik mengingat wasting memiliki dampak yang sangat berbahaya. Menurut UNICEF, wasting dapat menyebabkan sistem imunitas tubuh rendah, gangguan perkembangan otak, dan dalam kasus yang parah, meningkatkan risiko kematian pada anak. Faktor-faktor penyebab wasting, seperti tidak mendapat ASI eksklusif dan MP-ASI yang tidak memadai, menjadi sasaran tidak langsung dari program MBG yang menyediakan akses terhadap makanan bergizi.

Sementara data spesifik tentang dampak MBG terhadap anemia pada anak balita dan ibu hamil belum disebutkan secara rinci dalam sumber yang tersedia, anemia tetap menjadi target prioritas global WHO dan UNICEF dalam penanggulangan masalah gizi. Pakar gizi menekankan bahwa intervensi kepada ibu hamil untuk mencegah anemia sangat krusial, karena "stunting terjadi bukan setelah lahir, tapi bahkan sejak dalam kandungan. Maka intervensi kepada ibu hamil sangat penting. Jangan sampai ibu-ibu hamil kekurangan gizi atau anemia". Pendekatan program MBG yang juga menyasar ibu hamil diharapkan dapat berkontribusi pada penurunan angka anemia, yang pada akhirnya akan mencegah stunting pada bayi yang dilahirkan.

Tabel berikut meringkas temuan kunci dari analisis dampak Program MBG:

Indikator

Tren & Target

Tantangan & Fokus Ke Depan

Stunting (Gizi Kronis)

Turun dari 21.5% (2023) menjadi 19.8% (2024), melampaui target 20.1%. Target 2025: 18.8%

Disparitas regional tinggi (contoh: Bali 8.6% vs NTT 37%)

Fokus pada 6 provinsi yang menyumbang 50% balita stunting

Wasting (Gizi Akut)

Turun dari 8.5% (2023) menjadi 7.4% (2024)

Wasting berdampak serius pada imunitas dan perkembangan otak. Perlu terus diintervensi melalui pemenuhan gizi.

Anemia

Menjadi salah satu dari 6 target global penanggulangan masalah gizi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun