Secara nasional, Indonesia menunjukkan kemajuan yang signifikan dalam penurunan prevalensi stunting. Berdasarkan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI), prevalensi stunting nasional turun dari 21,5% pada tahun 2023 menjadi 19,8% di tahun 2024. Capaian ini bahkan melampaui target pemerintah untuk tahun 2024 yang sebesar 20,1%. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengapresiasi capaian ini namun mengingatkan bahwa target berikutnya, yaitu 18,8% pada tahun 2025, memerlukan upaya yang lebih keras dan kolaborasi yang lebih erat.
Meski tren nasional menggembirakan, analisis dampak MBG menjadi lebih bermakna ketika dilihat pada tingkat daerah. Terdapat disparitas yang tinggi antarprovinsi. Sebagai contoh, Bali berhasil mencapai prevalensi stunting terendah sebesar 8,6%, sementara Nusa Tenggara Timur (NTT) masih menghadapi angka yang sangat tinggi, yaitu 37%. Fokus program MBG di daerah-daerah dengan beban stunting tinggi menjadi kunci. Menteri Kesehatan menegaskan bahwa sekitar 50% dari total balita stunting di Indonesia terkonsentrasi di enam provinsi, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, Nusa Tenggara Timur, dan Banten. Oleh karena itu, percepatan penurunan stunting secara nasional sangat bergantung pada keberhasilan intervensi di keenam provinsi ini.
Bukti awal dampak positif MBG dilaporkan oleh Dewan Pakar Bidang Gizi Badan Gizi Nasional (BGN), Ikeu Tanziha. Ia menyatakan bahwa hasil pemantauan di sejumlah daerah penerima manfaat, seperti Kota Bogor dan Aceh, menunjukkan adanya peningkatan Indeks Massa Tubuh (IMT) pada anak-anak setelah 15 minggu pelaksanaan program. IMT adalah ukuran penting untuk menilai status gizi seseorang. Temuan ini mengindikasikan bahwa intervensi pemberian makanan bergizi secara langsung mulai memberikan efek yang terukur pada perbaikan status gizi anak di daerah intervensi.
2.2. Â Dampak Program MBG pada Indikator Gizi Lainnya: Wasting dan Anemia
Penting untuk menilai apakah manfaat MBG melampaui penanganan stunting dan juga berdampak pada masalah gizi lainnya. Indonesia masih menghadapi Tiga Beban Gizi (Triple Burden of Malnutrition), yaitu kondisi undernutrition (gizi kurang), overnutrition (gizi lebih/obesitas), dan micronutrient deficiency (kekurangan zat gizi mikro) yang terjadi secara bersamaan.
Data dari BGN menunjukkan bahwa prevalensi wasting (gizi akut) pada anak juga mengalami penurunan, dari 8,5% pada 2023 menjadi 7,4% di 2024.
Penurunan ini merupakan kabar baik mengingat wasting memiliki dampak yang sangat berbahaya. Menurut UNICEF, wasting dapat menyebabkan sistem imunitas tubuh rendah, gangguan perkembangan otak, dan dalam kasus yang parah, meningkatkan risiko kematian pada anak. Faktor-faktor penyebab wasting, seperti tidak mendapat ASI eksklusif dan MP-ASI yang tidak memadai, menjadi sasaran tidak langsung dari program MBG yang menyediakan akses terhadap makanan bergizi.
Sementara data spesifik tentang dampak MBG terhadap anemia pada anak balita dan ibu hamil belum disebutkan secara rinci dalam sumber yang tersedia, anemia tetap menjadi target prioritas global WHO dan UNICEF dalam penanggulangan masalah gizi. Pakar gizi menekankan bahwa intervensi kepada ibu hamil untuk mencegah anemia sangat krusial, karena "stunting terjadi bukan setelah lahir, tapi bahkan sejak dalam kandungan. Maka intervensi kepada ibu hamil sangat penting. Jangan sampai ibu-ibu hamil kekurangan gizi atau anemia". Pendekatan program MBG yang juga menyasar ibu hamil diharapkan dapat berkontribusi pada penurunan angka anemia, yang pada akhirnya akan mencegah stunting pada bayi yang dilahirkan.
Tabel berikut meringkas temuan kunci dari analisis dampak Program MBG:
Indikator
Tren & Target
Tantangan & Fokus Ke Depan