Mohon tunggu...
Muhammad Isnaini
Muhammad Isnaini Mohon Tunggu... Dosen

Membaca dan menulis adalah Dua sisi dari satu koin: membaca memperkaya wawasan, sementara menulis mengolah dan menyampaikan wawasan tersebut. Keduanya membangun dialog tak berujung antara pikiran dan dunia.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Hijaukan Ibadah, Selamatkan Bumi, Dan Masjid Menjadi Garda Depan Ekologi

4 Agustus 2025   06:00 Diperbarui: 4 Agustus 2025   05:56 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dikutip dari Galgala.id

Masjid Tuo Kayu Jao dikutip dari Gontornews
Masjid Tuo Kayu Jao dikutip dari Gontornews
Di tengah krisis iklim yang kian mengkhawatirkan, umat manusia mencari jalan keluar dari berbagai sudut kehidupan---sains, kebijakan publik, gaya hidup, hingga spiritualitas. Salah satu pendekatan yang kini mulai mendapat perhatian adalah menjadikan tempat ibadah sebagai agen perubahan lingkungan. Dalam konteks Islam, masjid memiliki potensi luar biasa untuk memainkan peran strategis sebagai pelopor gerakan ekologis. Bukan hanya karena fungsinya sebagai pusat ibadah, tetapi karena peran sosialnya yang menyatu dengan denyut nadi kehidupan umat.

Islam sejatinya telah lama mengajarkan prinsip-prinsip keberlanjutan. Dalam Al-Qur'an, Allah menegaskan, "Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah Allah memperbaikinya" (QS. Al-A'raf: 56). Ayat ini memberi pesan moral yang kuat bahwa menjaga kelestarian lingkungan adalah bagian dari ibadah. Konsep ini juga diperkuat oleh pemikiran Seyyed Hossein Nasr (1996), yang menyatakan bahwa dalam pandangan Islam tradisional, alam bukanlah sekadar objek eksploitasi, tetapi bagian dari kosmos yang suci dan harus dijaga harmoninya. Gagasan inilah yang melandasi gerakan eco-masjid---masjid yang dirancang dan dikelola dengan memperhatikan prinsip ramah lingkungan.

Di berbagai negara, eco-masjid bukan lagi konsep abstrak, melainkan kenyataan yang mulai dijalankan. Maroko, misalnya, telah mengubah lebih dari 890 masjid menjadi bangunan ramah lingkungan. Masjid-masjid ini menggunakan panel surya sebagai sumber listrik, lampu hemat energi, serta sistem air yang efisien. Transformasi ini didukung pemerintah dan menjadi bagian dari kebijakan energi terbarukan nasional.

Indonesia pun mulai mengikuti jejak tersebut, meski dengan jumlah yang masih terbatas. Menurut Forest Digest (2025), saat ini baru sekitar 206 eco-masjid di Indonesia. Salah satu yang menjadi sorotan adalah Masjid Istiqlal di Jakarta, yang kini dilengkapi Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atap berkapasitas 150 kWp. Implementasi ini berhasil menurunkan tagihan listrik hingga 30 persen dan mengurangi emisi karbon sebesar 119 ton per tahun. Lebih dari sekadar simbolik, ini adalah langkah nyata yang memberi dampak langsung bagi lingkungan.

Tidak hanya soal energi, beberapa masjid juga berinovasi dalam pengelolaan air. Di Masjid At-Tanwir, Jakarta, dan di masjid kampus Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, air bekas wudhu tidak langsung dibuang, tetapi disalurkan kembali untuk menyiram tanaman di sekitar masjid. Praktik sederhana ini menunjukkan bahwa kesalehan bisa diwujudkan bukan hanya melalui shalat, tetapi juga melalui kepedulian terhadap air---sumber kehidupan yang kini mulai langka.

Namun, perjalanan menuju masjid ramah lingkungan belum tanpa tantangan. Banyak pengurus masjid yang belum memahami konsep eco-masjid secara utuh. Aspek inklusivitas juga sering terabaikan. Masjid Agung Al-Azhar, misalnya, yang megah dan ramai dikunjungi, ternyata belum sepenuhnya ramah bagi penyandang disabilitas. Jalur kursi roda, area khusus ibu hamil, atau fasilitas lansia masih menjadi pekerjaan rumah. Padahal, dalam perspektif keberlanjutan yang sejati, bangunan ramah lingkungan harus juga ramah bagi semua pengunjungnya. Dari sisi teori perilaku lingkungan, pendekatan spiritual terbukti efektif dalam mengubah perilaku masyarakat. Stern (2000) dalam Theory of Environmentally Significant Behavior menyatakan bahwa perubahan perilaku terhadap lingkungan akan lebih bermakna jika dilandasi oleh nilai, norma, dan keyakinan. Dalam hal ini, masjid memiliki posisi unik untuk membentuk kesadaran ekologis umat---melalui khutbah, ceramah, majelis taklim, hingga papan pengumuman.

Bayangkan jika setiap khutbah Jumat menyelipkan pesan tentang menjaga air, hemat energi, dan tidak membuang sampah sembarangan. Atau jika remaja masjid dilibatkan dalam proyek pemilahan sampah dan penanaman pohon. Perlahan tapi pasti, masjid bisa menjadi pusat pendidikan lingkungan yang berakar dari nilai-nilai Islam itu sendiri.

Langkah menuju masjid hijau bukanlah mimpi kosong. Ia hanya butuh dua hal: kesadaran dan kemauan kolektif. Pemerintah, lembaga keagamaan, arsitek, teknokrat, dan masyarakat umum perlu bersinergi. Dukungan dalam bentuk pelatihan, insentif energi terbarukan, serta sertifikasi eco-masjid bisa menjadi dorongan kuat agar gerakan ini tumbuh secara sistemik.

Kini, saatnya masjid tidak hanya menjadi simbol kesalehan pribadi, tetapi juga wajah baru kesalehan sosial dan ekologis. Hijaukan ibadah, selamatkan bumi---karena menjaga ciptaan adalah bagian dari menyembah Sang Pencipta.

Untuk mengawali langkah konkret menuju masjid ramah lingkungan, PTKIN di seluruh Indonesia dapat menjadi pionir implementasi gerakan eco-masjid berbasis edukasi dan kolaborasi daerah. Sebagai institusi pendidikan Islam, PTKIN memiliki modal intelektual, jaringan kelembagaan, dan pengaruh moral yang dapat menggerakkan perubahan mulai dari lingkungan kampus hingga masyarakat sekitar. Di sinilah peran strategis PTKIN perlu disinergikan dengan visi pembangunan berkelanjutan dari pemerintah daerah di masing-masing provinsi.

Langkah pertama yang dapat dilakukan adalah mengintegrasikan kurikulum pendidikan lingkungan hidup berbasis nilai Islam ke dalam mata kuliah, kegiatan kemahasiswaan, dan program pengabdian masyarakat. Mahasiswa Fakultas Tarbiyah, Ushuluddin, maupun Syariah dapat terlibat dalam riset tindakan, audit energi masjid kampus, hingga kampanye kesadaran lingkungan berbasis dakwah digital. Ini sekaligus menjadi laboratorium hidup (living lab) bagi pengembangan pengetahuan ekologis yang bernuansa teologis. Selanjutnya, PTKIN bersama pemerintah daerah dapat membentuk konsorsium Masjid Hijau Provinsi, yang berfungsi sebagai forum kolaborasi antara akademisi, tokoh agama, pengelola masjid, dan Dinas Lingkungan Hidup setempat. Konsorsium ini dapat merumuskan standar teknis masjid ramah lingkungan, menyusun roadmap implementasi eco-masjid di kabupaten/kota, serta menjadi penghubung antara kampus dan komunitas masjid di akar rumput. Sebagai langkah awal, PTKIN bisa menjadikan masjid kampusnya sebagai model masjid hijau percontohan. Misalnya dengan pemasangan panel surya, sistem pemanenan air hujan, taman edukasi lingkungan, serta digitalisasi manajemen energi dan air. Data implementasi ini dapat dikaji dan direplikasi oleh masjid-masjid lain, termasuk yang berada di bawah binaan Kantor Kementerian Agama setempat. Kerja sama ini sekaligus membuka ruang partisipasi publik yang luas---melibatkan mahasiswa, ASN, santri, hingga masyarakat umum dalam gerakan hijau berbasis iman. Dengan strategi seperti ini, implementasi eco-masjid bukan hanya menjadi program sesaat, melainkan bagian dari proses pendidikan karakter ekologis yang berkelanjutan. PTKIN dan pemerintah daerah dapat menjadi motor perubahan, menjadikan masjid bukan hanya tempat ibadah, tetapi juga pusat kesadaran kolektif untuk menyelamatkan bumi dengan nilai-nilai Islam sebagai fondasinya.

Masjid bukan sekadar bangunan tempat sujud. Ia adalah pusat peradaban, pemantik kesadaran, dan ruang penyemaian nilai-nilai kebaikan. Dalam menghadapi krisis iklim global, masjid tidak boleh tinggal diam. Ia harus bangkit menjadi garda terdepan perubahan---menghijaukan ruang, menyejukkan hati, dan menyelamatkan bumi dengan spirit ibadah yang berakar pada ajaran tauhid dan kasih sayang terhadap seluruh ciptaan. Kini bukan saatnya lagi kita menunggu. Setiap tetes air wudhu yang bisa kita hemat, setiap cahaya matahari yang bisa kita manfaatkan, setiap khutbah yang menyentuh kesadaran ekologis---semuanya adalah bentuk ibadah baru yang tak kalah mulia. Dari kampus PTKIN hingga masjid-masjid di pelosok desa, dari dosen dan mahasiswa hingga takmir dan jamaah---kita semua bisa menjadi pelaku perubahan. Mari jadikan masjid bukan hanya tempat kembali kepada Tuhan, tetapi juga tempat kita kembali sadar bahwa menjaga bumi adalah bagian dari iman. Karena sejatinya, menghijaukan ibadah bukan hanya soal energi dan teknologi, tapi soal cinta---kepada bumi, kepada sesama, dan kepada Allah Sang Pencipta. Hijaukan ibadah, selamatkan bumi. Karena masa depan anak cucu kita, dimulai dari langkah-langkah kecil yang kita ambil hari ini---di rumah Allah yang kita jaga bersama.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun