Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Merasa Miskin Bisa Lebih Berbahaya daripada Menjadi Miskin

31 Juli 2025   08:00 Diperbarui: 31 Juli 2025   21:09 2128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Riset menunjukkan bahwa menjadi miskin memang merusak, tetapi merasa miskin bisa lebih merusak lagi | Gambar oleh Bruce Lam via Pixabay

Menjadi miskin itu sulit. Semua orang memahaminya dengan baik. Hidup terasa genting setiap detiknya. Setiap rupiah yang diperoleh menuntut kompromi yang menyakitkan. Beli beras untuk hari ini atau bayar cicilan utang ke warung? Beli obat untuk anak yang demam atau simpan untuk bayar kontrakan? Hidup menjelma menjadi deretan kalkulasi matematis yang tak pernah usai.

Dengan tekanan konstan seperti itu, tidak mengherankan bila aneka penelitian menunjukkan bahwa risiko masalah kesehatan kronis (mulai dari asma, diabetes, tekanan darah tinggi, hingga serangan jantung) secara tidak proporsional lebih banyak menimpa kaum miskin. Selain itu, mereka juga memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami gangguan kesehatan mental.

Bahkan studi menunjukkan bahwa anak-anak dari keluarga miskin yang tampaknya berhasil mengatasi kesulitan hidup, misalnya dengan meraih nilai bagus di sekolah dan mampu beradaptasi secara sosial, cenderung memiliki kadar hormon stres, tekanan darah, dan indeks massa tubuh yang lebih tinggi dibandingkan teman sebayanya yang lebih kaya.

Namun, di luar kesulitan finansial yang jelas menyulitkan pemenuhan kebutuhan, para peneliti mulai menemukan bahwa sebagian besar kerusakan yang ditimbulkan oleh kemiskinan berasal dari perasaan menjadi miskin. Bisa dibilang, meskipun menjadi miskin saja sudah berat, merasa miskin bisa jauh lebih menghancurkan.

Dalam bukunya The Broken Ladder: How Inequality Affects the Way We Think, Live, and Die, profesor psikologi Keith Payne berargumen bahwa aspek psikologis dari merasa miskin sering kali lebih merusak ketimbang kondisi kemiskinan itu sendiri. Kesimpulan ini tidak hanya datang dari penelitiannya selama beberapa dekade, tetapi juga pengalaman pahit masa kecilnya.

Sewaktu duduk di kelas empat SD, Payne terbiasa mendapatkan makan siang gratis. Setiap kali membawa nampan, kasir akan membiarkannya lewat. Namun, suatu hari, seorang kasir baru mencegatnya dan meminta bayaran $1,25. Payne terperanjat. Ia tidak punya uang sepeser pun. Ia baru menyadari bahwa makan siang gratis tersebut bukan untuk semua siswa, melainkan hanya untuk anak-anak dari keluarga berpenghasilan rendah.

Saat itulah Payne memahami bahwa ia miskin. Meskipun secara finansial tidak ada yang berubah, karena penghasilan keluarganya tetap sama seperti kemarin, caranya melihat dan mempersepsikan diri sendiri berubah drastis. Tiba-tiba, ia merasa sangat malu terhadap segala hal: pakaiannya, cara bicaranya, dan bahkan potongan rambutnya yang dipangkas di rumah menggunakan mangkuk.

"Sebagai anak yang sejak awal pemalu, saya menjadi hampir sepenuhnya pendiam di kelas," kenang Payne.

Pengalaman Payne tersebut terbukti valid secara ilmiah, baik menurut penelitiannya sendiri maupun peneliti lain. Sebuah studi yang terbit di Journal of Child Psychology and Psychiatry, dipimpin oleh Blanca Piera Pi-Sunyer dan Dr. Jack Andrews dari University of New South Wales, menganalisis persepsi ketidaksetaraan ekonomi dalam kelompok pertemanan di antara 12.995 anak berusia 11 tahun di Inggris.

Mereka menemukan bahwa anak-anak yang merasa lebih miskin dari teman-temannya memiliki tingkat kepercayaan diri (self-esteem) 6-8% lebih rendah dan kesejahteraan (well-being) 11% lebih rendah dibandingkan mereka yang melihat dirinya setara secara ekonomi dengan teman-temannya. Selain itu, mereka juga 17% lebih mungkin melaporkan menjadi korban perundungan atau ejekan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun