Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Habis Perang Tarif, Terbitlah Perang Trump vs Harvard

5 Juni 2025   14:52 Diperbarui: 9 Juli 2025   13:25 291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di era Trump 2.0 ini, hal-hal yang tadinya tidak terpikirkan terjadi setiap hari, dan sebagian besar perintahnya merupakan upaya memperlebar bola penghancur sayap kiri, di samping menggusarkan basis pendukungnya dan mengalihkan perhatian mereka dari ekonomi yang sedang melemah. Kongres belum berbuat banyak untuk menghentikannya, sampai baru-baru ini muncul wacana pemakzulan (lagi).

Harvard belajar dari (kegagalan) Columbia

Harvard bukanlah target pertama Trump, meskipun Harvard mungkin merupakan target utamanya. Sebelumnya, pemerintahan Trump telah menunda hibah penelitian Universitas Princeton dan Pennsylvania senilai ratusan juta dolar. Yang paling mencuri perhatian adalah pemangkasan dana federal sebesar 400 juta dolar AS (sekitar 6,5 triliun rupiah) untuk Universitas Columbia.

Alih-alih melawan, Columbia memilih tunduk pada pemerintah dengan beberapa persyaratan minor. Hasilnya, mereka melarang demonstran mengenakan masker guna memudahkan identifikasi yang dianggap perusuh, serta menempatkan seluruh departemen dalam "pengawasan akademik". Secara khusus, Columbia memosisikan Departemen Studi Timur Tengah, Asia Selatan dan Afrika dan Pusat Studi Palestina di bawah otoritas wakil rektor senior yang baru.

Namun, Columbia tidak memperoleh hak-haknya kembali. Hibah riset federal sampai saat ini belum dipulihkan, dan pada saat yang sama reputasi mentereng mereka terlanjur hancur lebur karena mereka dianggap telah mengorbankan integritas dan otonomi akademik untuk mempertahankan akses pada kue negara. Sebaliknya, sadar bahwa Columbia sudah "menyerahkan diri", Trump dengan entengnya menuntut lebih banyak dari Columbia.

Jika Anda menjadi presiden Harvard, berbekal pelajaran dari Columbia yang telah berusaha bernegosiasi tetapi pemerintah tidak memenuhi janji-janjinya dan justru hanya menghasilkan lebih banyak tuntutan yang ditumpuk, apa yang akan Anda lakukan? Dalam situasi sulit ini, opsi yang tampaknya paling masuk akal adalah menolak tunduk dan berbalik melawan.

Dan memang itulah opsi yang diambil Presiden Harvard Alan Harber.

Trump mencoba mengintimidasi Harvard dengan satu-satunya kekuatan yang (pernah) dia miliki: uang. Namun, Harvard tidak bisa diintimidasi dengan uang karena mereka bukanlah kampus miskin. Bahkan jika mereka tetap kehilangan 3 miliar dolar AS, Harvard melihat itu masih dapat ditoleransi daripada kehilangan integritas dan kredibilitas, seperti yang terjadi pada Columbia.

Harvard menyadari bahwa pemerintahan Trump, terlepas dari klaim apa pun yang mereka perjuangkan, sebenarnya tidak berusaha mereformasi universitas elite AS; mereka berusaha menghancurkannya. Inilah mengapa perlawanan Harvard begitu penting. Jika kampus sebesar Harvard saja tidak mampu melawan, apa kabar institusi pendidikan lainnya yang lebih kecil dari Harvard?

Berkat uang dan popularitasnya, Trump tampaknya percaya diri dapat merebut hati publik, baik Amerika maupun dunia internasional. Kelas pekerja Amerika, yang dulu menjadi tulang punggungnya dalam memenangkan pilpres, mungkin tidak akan keberatan melihat universitas elite menderita di bawah kekuasaan Trump. Harvard tidak memberi makan kelas pekerja (secara langsung).

Namun, Trump mungkin lupa bahwa pertarungannya melawan Harvard tidak sama dengan pemilihan presiden.

Kemenangan Trump atas Harvard, sebagian besar, tidak ditentukan oleh suara puluhan juta orang Amerika, melainkan segelintir elite yang bertarung di ruang pengadilan. Dan Harvard telah memenangkan satu di antaranya, mungkin lagi dan lagi. Bahkan jika entah bagaimana mereka kalah, suatu hari nanti, Harvard mungkin akan berterima kasih pada Trump karena telah memoles reputasinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun