Persepsi masyarakat terhadap status lajang semakin berbalik. Beberapa dekade lalu, hidup tanpa pasangan jangka panjang masih diasosiasikan dengan kegagalan pribadi. Pernikahan dianggap sebagai pencapaian yang harus diraih oleh semua orang, dengan adanya tekanan sosial (khususnya terhadap perempuan) untuk menikah pada usia tertentu.
Ketidakmampuan atau keengganan untuk mengikuti norma tersebut sering kali memicu stigma bahwa seseorang belum dewasa, tidak berkembang, bahkan digambarkan sebagai sosok yang kesepian, kurang menarik, dan menyedihkan. Orang lajang entah bagaimana dipandang sebagai paria sosial.
Hari ini, pandangan sosial tersebut bukan hanya memudar, tetapi juga ditantang secara aktif melalui apa yang dikenal sebagai "single positivity movement". Gerakan ini menolak mentah-mentah stereotip negatif yang melekat pada status lajang dengan menekankan bahwa tidak pernah menikah atau tidak memiliki pasangan jangka panjang merupakan pilihan sah.
Alih-alih dicemooh, para pendukungnya percaya bahwa status lajang patut dirayakan karena membuka ruang untuk berfokus pada tujuan dan pertumbuhan pribadi. Gagasan ini telah dipromosikan oleh banyak publik figur, terutama artis Hollywood. Dalam sebuah wawancara, Emma Watson dengan bangga mengklaim dirinya sebagai "self-partnered".
Dan perhatikan lagi lagu Miley Cyrus "Flowers" yang dipuji sebagai ode untuk mencintai diri sendiri oleh para penggemar: "I can buy myself flowers. Write my name in the sand. Talk to myself for hours, say things you don't understand. I can take myself dancing and I can hold my own hand. Yeah, I can love me better than you can."
Bagi beberapa orang, pendekatan positif terhadap status lajang bahkan lebih dari sekadar aktualisasi diri.
Pada tahun 2015, Sophie Tanner, seorang konsultan digital di Inggris, memutuskan untuk menikahi dirinya sendiri (sologami). Dengan memprioritaskan hubungan dengan dirinya sendiri, dia mengaku telah mengalami perkembangan pribadi yang signifikan melalui proses penerimaan diri dan peningkatan kebahagiaan.
Logika biner yang sama
Apa yang saya sukai dari gerakan "single positivity" adalah sikap santai para pendukungnya. Mereka tidak menunggu apa pun. Mereka tidak merasa hidupnya tertunda dan justru mulai "mengisi cangkir" diri sendiri tanpa bergantung pada kehadiran orang lain.
Itu bisa berarti menyambut hari-hari kosong tanpa tekanan untuk segera mengisinya. Itu juga bisa juga berarti melakukan hal-hal yang mungkin tidak sempat (atau tidak mungkin) dilakukan jika memiliki pasangan, mulai dari mengikuti lomba maraton, mempelajari (lagi) piano dan bahasa asing, hingga sesederhana membersihkan kamar.
Bagaimanapun, gerakan ini tidak terbebas dari kritik.