Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Fate seemed to be toying us with jokes that were really not funny.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kontroversi Piala Dunia Qatar, Antara Politik dan Olahraga

28 November 2022   20:13 Diperbarui: 28 November 2022   20:52 1153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nicolas Otamendi (19) dan Saleh Al-Shehri (11) berduel di udara dalam laga Argentina melawan Arab Saudi | Gambar oleh Yukihito Taguchi via CNN

Berburu mega-event olahraga sudah jadi strategi politik dan pembangunan yang semakin populer dalam beberapa dekade terakhir. Tendensi ini agaknya terkait dengan urgensi dan insentif globalisasi. Terlebih, manfaat yang disebut-sebut sangat luas.

Yang paling sering ditekankan adalah manfaat ekonomi, termasuk investasi infrastruktur dan peluang "promosi tempat" yang tak tertandingi, yang ditujukan untuk memperluas pariwisata, atau paling tidak kemampuan untuk memikat acara besar lainnya di masa mendatang.

Fakta bahwa perkiraan profit sering salah hitung, dan hampir selalu dilebih-lebihkan, sejauh ini antusiasme para calon tuan rumah tak banyak berkurang. Barangkali ini juga berkaitan dengan faktor lainnya: meningkatkan reputasi, atau biasa disebut "brand identity".

Dan lagi, pagelaran mega-event olahraga seperti Piala Dunia sudah terlanjur jadi sesuatu yang gemerlap. Kata jurnalis Sally Jenkins, "Ini adalah bisnis yang kita pilih. Ini adalah keputusan yang kita buat sebagai budaya dan sebagai negara dan sebagai pemerintah."

Pikirkan biaya transfer Neymar dari Barcelona ke PSG yang berkisar 222 juta euro. Dia sekarang menghasilkan 4 juta euro (sekitar Rp63,246 miliar) per bulan; angka yang berkali-kali lipat lebih tinggi dari total gaji dan tunjangan presiden di Indonesia.

Ada absurditas mendasar pada gambaran itu, dan lebih absurd lagi kalau kita menyoroti ketidaksetaraan sosial dan keuangan dalam masyarakat global. Namun, keterlibatan publik dan politik tampaknya terbatas pada masalah khusus ini. Mengapa?

Ringkasnya, sepak bola elite telah dibingkai sebagai hiburan global. 

Di bidang ini, sorotan tertuju pada "Neymar sebagai pemain yang menghibur" daripada "Neymar sebagai buruh". Maka, tak heran kalau sepak bola profesional lebih dikaitkan dengan industri hiburan daripada pasar tenaga kerja.

Gaji yang dibayarkan juga sesuai dengan profitabilitas dan logika kompetitif olahraga, serta pemikiran pasar neoliberal dan kapitalisme winner-takes-all. Dalam hal ini, politik mencuat sebagai sesuatu yang erat, tapi sekaligus dianggap asing.

Politik dan olahraga

"Olahraga punya kekuatan untuk mengubah dunia," ujar Nelson Mandela. "Olahraga bisa menciptakan harapan, di mana dulu hanya ada keputusasaan. Itu lebih kuat ketimbang pemerintah dalam meruntuhkan pengejek rasial. Itu menertawakan segala jenis diskriminasi."

Logika itu sejalan dengan kegunaan olahraga sebagai alat pembangunan di mana partisipasi olahraga dipahami untuk mendukung orang-orang yang terpinggirkan, acapkali kaum muda, untuk berprestasi dalam budaya dan ekonomi-politik yang kompetitif dan hierarkis.

Jadi, tampaknya betul bahwa hari ini olahraga kerap mencerminkan nilai politik, prioritas, kepekaan, dan bahkan neurosis kita.

Dalam bayang-bayang itu, kita memuja atlet seperti pahlawan nasional, menyanyikan lagu kebangsaan yang menegaskan supremasi nasional kita, menghafal fakta dan statistik pemain seolah hidup kita bergantung padanya, dan kecewa berat saat idola kalah.

Terlebih, olahraga juga sering jadi pelarian. Ia menawarkan euforia, meski singkat, dan jeda dari kehidupan sehari-hari. Plot teroris mungkin mengambang, bencana alam mungkin terjadi, dan kemiskinan mungkin melanda seluruh negeri.

Namun, bahkan di masa-masa suram ini, orang masih merasa nyaman dengan olahraga. Dan jika olahraga adalah kehidupan manusia dalam "mikrokosmos", maka olahraga lebih dari sekadar pelarian. Ia adalah bagian tak terpisahkan dari diri kita.

Dan itu berarti, fakta bahwa manusia adalah zoon-politicon, olahraga juga tak bisa mengelak dari tarikan politik. Ini menimbulkan pertanyaan menarik tentang mengapa hubungan ini ada dan apa pengaruhnya terhadap warganegara dan pemerintah.

Mengingat sebegitu besarnya uang publik yang dihabiskan, pertanyaan fundamental politik tentang siapa mendapat apa, kapan, bagaimana, dan mengapa tampaknya sangat relevan. Dalam hal ini, olahraga dan politik saling terkait.

Kenyataannya, olahraga dan politik telah berjalan bersama sejak keduanya ada. Pikirkan Colosseum Roma, di mana kaisar terus-menerus mengadakan pagelaran olahraga untuk menghibur dan mengingatkan semua orang tentang siapa yang punya kekuasaan dan uang.

Selain itu, keduanya juga bertimbal-balik. Politik menyeruak dalam olahraga mana pun, di tempat yang terlihat dan tak terlihat, dan berasal dari peran atlet, penggemar, tim, warganegara, pemerintah, pasar, serta institusi.

Sebaliknya, olahraga juga dapat memengaruhi aliansi politik, pengambilan keputusan pemerintah, pemungutan suara, mobilisasi kelompok kepentingan, dan bahkan keterlibatan dan stabilitas sosial.

Baik di dalam negeri maupun global, olahraga (nyaris) selalu melibatkan perdebatan terbesar dalam semesta politik.

Politik di balik Piala Dunia 2022 Qatar

Apa yang sekarang terjadi di Qatar, di mana pagelaran megah sepak bola berubah jadi perdebatan politik, bisa dibilang merupakan buntut atau perpanjangan dari apa yang selama ini bergejolak dalam masyarakat kontemporer, khususnya di Barat.

Sejak terpilihnya Qatar sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022, sejumlah protes memang telah menyeruak. Mereka diragukan atas beberapa hal: catatan hak asasi manusia yang meragukan, kurangnya silsilah sepak bola, dan tuduhan suap dalam proses penawaran.

Terlebih, larangan Rusia untuk berpartisipasi karena invasi ke Ukraina juga telah menambah elemen politik lain ke pameran megah itu. Dan seperti yang kita tahu, rentetan kontroversi itu terus berlanjut sampai tahap pelaksanaan.

Perselisihan FIFA dengan beberapa tim Eropa yang (menurut klaimnya) mendukung keragaman LGBTQ+, hak-hak perempuan, perlakuan terhadap pekerja imigran yang membangun stadion ber-AC di padang pasir dan ketersediaan minuman keras di sekitar stadion, telah menambah daftar panjang intervensi politik di Piala Dunia Qatar.

Drama itu menghidupkan kembali kecurigaan bahwa olahraga, yang menampilkan dirinya terbuka dan inklusif, telah mengabaikan HAM dan memperkuat represi politik. 

FIFA, dalam hal ini, dituduh hanya ingin dapat bagian dari kekayaan minyak Qatar, sehingga mengabaikan fakta bahwa Qatar hanya punya sedikit hubungan budaya atau sejarah dengan sepak bola.

Tapi, sebaliknya pun mungkin benar: Qatar memaksakan diri, yang berarti mendesak FIFA, supaya mereka bisa cepat-cepat jadi tuan rumah Piala Dunia. Ada tujuan ekonomis yang agaknya diprioritaskan Qatar, dan itu di luar jangkauan artikel ini.

Pada intinya, ini adalah turnamen yang tiada duanya. Dan meskipun ada permintaan dari pihak berwenang agar publik fokus pada sepak bolanya, protes politik sudah terlanjur jadi berita utama di mana-mana.

Ada timnas Iran yang menolak menyanyikan lagu kebangsaan mereka sebagai bentuk protes atas penindasan berdarah di negara mereka sendiri, khususnya terkait kematian Mahsa Amini. Kesunyian itu, dengan kata lain, menyimbolkan solidaritas dengan pemberontakan rakyat yang terjadi di dalam negeri.

Lalu, timnas Jerman juga menunjukkan gestur perlawanan. Gerakan tutup-mulutnya jelas merujuk pada penolakan FIFA atas hak mereka untuk memakai ban lengan pro-LBGTQ+. Kita masih menunggu apa yang akan muncul berikutnya.

Dalam pengertian ini, beberapa orang berpendapat bahwa olahraga bekerja lebih seperti cermin yang terdistorsi. Alih-alih mengungkapkan kebenaran mendasar manusia, olahraga justru menutupi realitas gelap eksploitasi dan kebijaksanaan politik.

Tapi tak ada yang baru.

Ironi dari banyaknya kritik terhadap Qatar adalah bahwa sebagian besar tak ada hubungannya dengan menemukan solusi struktural untuk mendukung hak orang-orang queer lokal, perempuan, atau imigran.

Terlebih kita mesti ingat bahwa Qatar juga bukan negara demokrasi, atau setidaknya sangat lemah. 

Pemilihan pertama berlangsung pada Oktober 2021, dengan parpol dilarang dan semua kandidat mencalonkan diri secara independen. Tak ada perempuan yang terpilih dan, menurut Human Rights Watch, ribuan warga Qatar telah disingkirkan dari pemungutan suara. 

Ironi lainnya adalah bahwa selama beberapa bulan terakhir, Qatar telah menjadi mitra dekat Barat, terutama dalam memastikan Eropa berkecukupan bahan bakar untuk musim dingin di tengah kebuntuan geopolitiknya dengan Rusia. 

Jadi, sementara wartawan dari negara-negara itu bersikap keras terhadap Qatar, pemerintah mereka sebenarnya telah bekerja keras untuk "menjilat" negara Teluk itu.

Saya belum mengambil posisi apa pun soal ini; saya perlu lebih banyak informasi. Yang jelas saya percaya bahwa warga dunia memang mengemban tugas penting untuk bersikap kritis, menyuarakan pendapat, dan menghidupkan perdebatan tentang isu-isu krusial.

Namun, ada waktu dan tempat untuk diskusi semacam itu.

Saya suka dengan ungkapan jurnalis Jasper Hamann: "Jika reporter Barat ingin dunia yang menumbuhkan toleransi, kesetaraan dan hak universal, mereka semestinya sadar bahwa mereka punya kekuatan untuk memengaruhi aktor paling kuat di dunia: pemerintah mereka sendiri." 

Dan dalam olahraga internasional, pemenang tak selalu berada di lapangan.

Ketika diminta untuk memprediksi pemenang Piala Dunia 2018 pada bulan Mei, Presiden Putin menjawab bahwa "pemenangnya adalah penyelenggara". Itu berarti, tentu saja, dirinya sendiri. Dan untuk sekali ini, Putin tak berbohong. 

Mengapa olahraga tak bisa lepas dari politik?

Saat Indonesia jadi tuan rumah Asian Games 1962, "visa" tak dikeluarkan untuk atlet Israel dan Taiwan, meski kedua negara ini adalah anggota Asian Games. Keputusan ini pun dikecam keras oleh GD Sondhi, pencetus penyelenggaraan Asian Games.

Akibatnya, pada 7 Februari 1963, Indonesia ditangguhkan dari Olimpiade dengan alasan bahwa politik telah dicampuradukkan ke dalam dunia olahraga, yang katanya mesti bersifat non-politik.

Tak perlu dikatakan, Presiden Soekarno sangat marah kepada International Olympic Committee. Beberapa hari kemudian, ide GANEFO diumumkan. Dalam pidatonya tanggal 13 Februari 1963, Presiden Soekarno memberi perintah sebagai berikut:

"...I propose to be frank. Now let's frankly say, sports have something to do with politics. Indonesia proposes now to mix sports with politics, and let us now establish the Games of the New Emerging Forces, the GANEFO...against the Old Established Order"

"Olahraga dan politik tak bercampur". Kata-kata ini, ironisnya, justru menyoroti sedemikian banyaknya momen ketika olahraga dan politik saling terkait. 

Olahraga dan politik mungkin tak selalu cocok, tapi, seperti yang diutarakan Presiden Soekarno, politik dan olahraga pasti bercampur.

Itu karena kekuasaan, yang merupakan fitur inti dari politik, ada di mana-mana (seperti ungkap Michel Foucault). Keseharian kita, tak perlu dikatakan, penuh dengan potensi masalah yang dimunculkan kekuasaan, entah tampak ataupun tidak, diartikulasikan ataupun diredam.

Masalah dengan setiap orang yang mencoba memisahkan politik dan olahraga adalah bahwa mereka memperdagangkan mitos. Mereka ingin kita percaya bahwa intervensi politik dalam olahraga adalah penyatuan yang menyakitkan.

Sangat mudah untuk memahami mengapa hal itu begitu mudah diterima. Tapi, persoalannya bukan memisahkan kedua dunia itu. Jika politik ada di mana-mana, tak terkecuali dalam olahraga, maka fokus utamanya adalah bagaimana itu bisa mutualisme.

Bahkan dalam banyak hal, olahraga tampaknya cukup merepresentasikan dunia politik. Mendiang Presiden AS John F. Kennedy, umpamanya, menyatakan bahwa "politics is like football; if you see daylight, go through the hole."

Yang paling ringkas adalah politisi Welsh Aneurin Bevan: "Politik adalah olahraga (ber)darah."

Jadi, bagaimanapun, olahraga memang sering diposisikan secara unik untuk mengungkapkan yang terbaik dan terburuk dari kecenderungan politik kita. Orang tak perlu melihat lebih jauh dari Piala Dunia Qatar untuk mengetahui alasannya.

Di sana, politik berbagi sorotan dengan pertandingan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun