Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kontroversi Piala Dunia Qatar, Antara Politik dan Olahraga

28 November 2022   20:13 Diperbarui: 28 November 2022   20:52 1153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nicolas Otamendi (19) dan Saleh Al-Shehri (11) berduel di udara dalam laga Argentina melawan Arab Saudi | Gambar oleh Yukihito Taguchi via CNN

Apa yang sekarang terjadi di Qatar, di mana pagelaran megah sepak bola berubah jadi perdebatan politik, bisa dibilang merupakan buntut atau perpanjangan dari apa yang selama ini bergejolak dalam masyarakat kontemporer, khususnya di Barat.

Sejak terpilihnya Qatar sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022, sejumlah protes memang telah menyeruak. Mereka diragukan atas beberapa hal: catatan hak asasi manusia yang meragukan, kurangnya silsilah sepak bola, dan tuduhan suap dalam proses penawaran.

Terlebih, larangan Rusia untuk berpartisipasi karena invasi ke Ukraina juga telah menambah elemen politik lain ke pameran megah itu. Dan seperti yang kita tahu, rentetan kontroversi itu terus berlanjut sampai tahap pelaksanaan.

Perselisihan FIFA dengan beberapa tim Eropa yang (menurut klaimnya) mendukung keragaman LGBTQ+, hak-hak perempuan, perlakuan terhadap pekerja imigran yang membangun stadion ber-AC di padang pasir dan ketersediaan minuman keras di sekitar stadion, telah menambah daftar panjang intervensi politik di Piala Dunia Qatar.

Drama itu menghidupkan kembali kecurigaan bahwa olahraga, yang menampilkan dirinya terbuka dan inklusif, telah mengabaikan HAM dan memperkuat represi politik. 

FIFA, dalam hal ini, dituduh hanya ingin dapat bagian dari kekayaan minyak Qatar, sehingga mengabaikan fakta bahwa Qatar hanya punya sedikit hubungan budaya atau sejarah dengan sepak bola.

Tapi, sebaliknya pun mungkin benar: Qatar memaksakan diri, yang berarti mendesak FIFA, supaya mereka bisa cepat-cepat jadi tuan rumah Piala Dunia. Ada tujuan ekonomis yang agaknya diprioritaskan Qatar, dan itu di luar jangkauan artikel ini.

Pada intinya, ini adalah turnamen yang tiada duanya. Dan meskipun ada permintaan dari pihak berwenang agar publik fokus pada sepak bolanya, protes politik sudah terlanjur jadi berita utama di mana-mana.

Ada timnas Iran yang menolak menyanyikan lagu kebangsaan mereka sebagai bentuk protes atas penindasan berdarah di negara mereka sendiri, khususnya terkait kematian Mahsa Amini. Kesunyian itu, dengan kata lain, menyimbolkan solidaritas dengan pemberontakan rakyat yang terjadi di dalam negeri.

Lalu, timnas Jerman juga menunjukkan gestur perlawanan. Gerakan tutup-mulutnya jelas merujuk pada penolakan FIFA atas hak mereka untuk memakai ban lengan pro-LBGTQ+. Kita masih menunggu apa yang akan muncul berikutnya.

Dalam pengertian ini, beberapa orang berpendapat bahwa olahraga bekerja lebih seperti cermin yang terdistorsi. Alih-alih mengungkapkan kebenaran mendasar manusia, olahraga justru menutupi realitas gelap eksploitasi dan kebijaksanaan politik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun