Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Fate seemed to be toying us with jokes that were really not funny.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Keutamaan Melibatkan Diri dalam Absurditas Bencana

6 Desember 2021   05:25 Diperbarui: 6 Desember 2021   06:22 347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Erupsi gunung Semeru merupakan contoh dari absurditas bencana | Foto diambil dari tangkapan layar via SINDOnews

Bencana adalah kebatilan yang absurd, karena hadir begitu saja tanpa kejelasan alasan dan tujuan. Bencana adalah tamu tanpa undangan yang menghancurkan pesta sukaria Anda di malam yang tenang.

Bencana adalah yang tak terhindarkan.

Bencana tidak sama dengan hukuman mati terhadap seorang koruptor atau pembunuh berantai; bencana "membunuh" orang-orang tanpa prosesi pengadilan dan bekerja secara acak dalam memilih korban.

Siapa pun yang berada dalam lingkupnya, maka secara niscaya menjadi korban. Bencana, misalnya erupsi gunung Semeru, terbukti telah merenggut nyawa tanpa aturan, seperti anak-anak yang tidak mengerti apa pun selain bermain.

Baru-baru ini dikabarkan telah ditemukan ibu dan anak yang tewas dalam keadaan berpelukan sebagai korban kebatilan erupsi Semeru. Ironi semacam itu bukan saja menyengsarakan keluarga mereka, tetapi juga menyayat hati kita semua.

Bencana mereduksi manusia dalam entitas anonim. Mereka hanya dihitung sebagai angka. Derita personal tidak dianggap penting, sebab yang berbicara hanyalah statistik: berapa jumlah korban hari ini?

Tanpa kejelasan alasan dan tujuan, bencana seperti erupsi Semeru dan pandemi Covid-19 telah menyebarkan kematian di sekitar kita. Inilah yang disebut sebagai "absurditas" oleh filsuf eksistensialis (yang ingin disebut seniman), Albert Camus.

Bagi Camus, absurditas adalah kesadaran tajam manusia atas irasionalitas dan kontradiksi kehidupannya. Kendati demikian, absurditas tidak boleh dihadapi dengan keputusasaan dan pelarian.

Menurutnya, absurditas semacam bencana harus dihadapi dengan penuh "pemberontakan" dan menjadi urusan "kita bersama".

Pemberontakan sejati adalah tindakan yang dimotivasi oleh kepedulian terhadap kebaikan bersama daripada kepentingan pribadi. Absurditas mesti dihadapi dengan "moral keterlibatan" dalam sebuah perjuangan bersama.

Senada dengan Descartes tetapi berbeda, Camus menegaskan, "Aku memberontak, maka aku ada."

Kita tidak bisa menganggap absurditas ini sebagai kutukan, tetapi menilainya sebagai anugerah pun terasa naif.

Bencana adalah bencana. Apa yang bersemayam di balik bencana adalah kita sendiri yang menentukan maknanya. Dan bila bencana memang layak dikatakan absurd, maka tugas kitalah untuk memberinya makna dan nilai.

Untuk segala sesuatu yang berada dan terjadi di bawah matahari ... pasti memiliki alasan yang mengagumkan.

Jiwa manusia, seperti halnya sungai dan tumbuhan, juga membutuhkan hujan, meskipun dari jenis yang berbeda: makna dan alasan. Tanpa itu, segala sesuatu dalam jiwa tersebut akan mati, walaupun raganya masih terus hidup.

Lantas orang-orang akan berkata, "Di dalam tubuh ini pernah hidup seorang manusia."

Makna adalah simbol perlawanan terhadap absurditas. Makna bukanlah bentuk rasionalisasi atas irasionalitas, tetapi merupakan pijakan pertama dalam menindaklanjuti "bagaimana aku harus bertindak".

Tanpa makna, kita kehilangan nilai. Tanpa nilai, kita kehilangan empati. Tanpa empati, tidak akan ada perjuangan bersama.

Dalam novel termahsyurnya, La Peste (terj. Sampar), posisi Camus berada dalam figur dokter Rieux, yang mana dia lebih suka memerankan diri sebagai saksi hidup yang solider dengan pergulatan manusia melawan kemalangan daripada sekadar berbahagia sendirian.

Menjadi saksi bukan semata-mata hanya menonton, tetapi juga terlibat dalam perjuangan membantu korban. Tidak setiap saksi adalah pejuang, namun setiap pejuang dengan sendirinya adalah saksi atas perbuatannya sendiri dan rekan-rekannya.

Jawaban Camus untuk menghadapi absurditas adalah, manusia mesti menolak takluk di depan kebatilan dan melawannya dalam sikap solider serta bertanggung jawab atas kehidupan ringkih yang terutama tampak dalam diri para korban absurditas.

Meskipun absurditas berupa bencana sangat mengerikan (dan kadang menjijikkan), kita tidak boleh menempatkan diri di luar kotak. Dalam keterlibatan tersebut, Camus mengajak kita untuk berada di pihak korban karena menurutnya, manusia memiliki nilai dalam dirinya sendiri.

Akan tetapi, moral keterlibatan Camusian adalah bertempur di sisi korban tanpa berharap akan kemenangan absolut, atau hematnya, keterlibatan tersebut mestilah tidak mengharapkan pamrih sekaligus hasil yang luar biasa.

Apa yang bisa kita lakukan adalah "mencegah supaya korban tidak berjatuhan lebih banyak lagi".

Dengan demikian, hal yang sebenarnya menjadi kebutuhan kita semenjak pandemi dan sekarang erupsi Semeru bukan saja bantuan logistik, tetapi juga bantuan keterlibatan yang terangkum dalam kerelawanan.

Kerelawanan adalah "baik" pada dirinya sendiri bagaikan mutiara yang selalu indah tanpa membutuhkan pengakuan dari siapa pun. Demikianlah kerelawanan itu choice worthy (layak dipilih).

Kerelawanan dalam bentuk apa pun mempunyai esensi yang sama, yaitu terlibat di sisi korban dengan spirit yang membara terhadap kemanusiaan. Maka, sukarelawan adalah petugas kemanusiaan.

Mereka bukan pahlawan, bukan malaikat pelipur lara, dan bukan pula orang dengan wangsit tertentu. Mereka tidak sama dengan pejabat yang difasilitasi rumah dan mobil dinas. Mereka tidak pergi menghadiri rapat paripurna (dan lalu tidur). 

Mereka tidak berdasi ataupun berkunjung ke luar negeri menggunakan uang negara. Tunjangan kesehatan pun tidak ada sama sekali.

Mereka hanyalah orang biasa yang memiliki kesibukan sehari-hari sebagaimana kita. Namun datangnya bencana membuat mereka memilih menghadapi dan melibatkan diri tanpa bayangan upah atau semacamnya. 

Sukarelawan hanya memiliki "moral keterlibatan" dalam memaknai sebuah perjuangan bersama. Ini bukan tentang untung atau rugi; ini adalah tentang cinta dan empati.

Cinta hanya tumbuh lewat berbagi. Kita hanya dapat memilikinya lebih banyak untuk diri sendiri ketika kita memberikannya juga kepada orang lain. Melatih kedermawanan dan kesukarelaan adalah keterampilan langka yang semakin dirindukan seiring bertambah gilanya peradaban kita.

Dalam pasang surut keadilan dan penindasan yang tiada henti, kita semua harus menggali saluran sebaik mungkin agar pada saat yang tepat, sebagian dari gelombang yang membengkak dapat disalurkan ke tempat-tempat kehidupan yang tandus.

Seratus tahun dari sekarang, mungkin tidak akan ada yang tahu bahwa kita pernah hidup. Tetapi jika kita melakukan sesuatu yang membuat dunia ini berbeda sekecil apa pun, kita dapat tetap "abadi" dalam ingatan anak-cucu kita. 

Kerelawanan menawarkan itu: bukan hanya membuat sedikit perbedaan bagi dunia, namun juga menggiringnya ke spektrum yang terbaik.

Pada akhirnya, bencana memang selalu terjadi dan akan selalu demikian sepanjang sejarah manusia. Tetapi satu hal yang pasti dan hampir tidak berubah, bahwa reaksi kita terhadapnya kerap dipenuhi rasa terkejut dan kemalangan korban selalu membuat kita tersendu-sendu terhadapnya.

Atas hal itulah, saya mengajak Anda untuk melibatkan diri dalam absurditas bencana, tidak peduli sekecil apa pun yang dapat Anda lakukan. Saya tidak yakin bahwa korban akan bangkit sepenuhnya dari keterpurukan atas datangnya bantuan dari kita.

Tetapi seperti yang dikatakan Horace Mann, "Tidak melakukan apa-apa untuk orang lain adalah kehancuran diri sendiri."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun