Sementara frasa bagian terakhir mungkin benar, semua itu juga merupakan pernyataan "terselubung" atas ketidakpuasan.Â
Bahkan jika hal-hal terlihat baik di permukaan, kita bisa saja merasa masih ada sesuatu yang tidak beres, atau hilang.
Dan itu tidak apa-apa. Sungguh. Saya adalah salah seorang yang sering merasa tidak puas, tetapi atas ketidakpuasan itulah saya masih menulis hingga sekarang dan menjaga gairah kehidupan sebelum pada akhirnya saya pergi tanpa sempat melambaikan tangan.
Hanya tinggal pertanyaannya adalah kapan; kapan seharusnya kita merasa puas terhadap apa adanya diri kita dan kapan seharusnya kita memeluk ketidakpuasan itu.
Dikotomi Fakta
Belakangan saya berkontemplasi tentang apa itu menjadi puas terhadap diri sendiri, dan saya pikir ungkapan umum tentang "puaslah terhadap diri sendiri" perlu penjelasan yang lebih jauh agar tidak menyesatkan.
Karena ketika saya menerima (katakanlah) prinsip semacam itu, saya mandek dan tidak berkembang. Dan ingat kembali bahwa populasi manusia sekarang ini mencapai 7,9 miliar jiwa, maka siapakah kita jika sepanjang waktu berdiri di tempat yang sama?
Kembali ke pertanyaan "kapan seharusnya kita merasa puas dan sebaliknya", saya menjawabnya dengan membedakan dua jenis fakta kehidupan, yaitu fakta absolut dan fakta relatif.
Fakta absolut adalah apa yang memang selalu ada dan melekat dalam diri kita, semacam fakta yang "terlempar" pada kita tanpa adanya kehendak atau campur tangan kita. Sesuai namanya, fakta ini bersifat mutlak dan sama sekali tidak memberi kita pilihan.
Apa yang dilakukan Socrates dan Diogenes dalam kisah di atas adalah contoh tentang penerimaan fakta absolut.Â
Socrates merasa puas dengan kondisi fisiknya yang dibawa sejak lahir, dan Diogenes merasa puas dengan dirinya sendiri yang apa adanya.
Karena sifatnya yang memang tidak terbantahkan inilah, fakta absolut (menurut saya) harus diterima secara "lapang dada dan tangan terbuka". Kita tidak memiliki kendali sedikit pun terhadapnya, dan sia-sia saja kita mengeluhkannya.