Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ketika Pujian Berubah Menjadi Bencana dan Berdampak Negatif

5 Juli 2021   11:52 Diperbarui: 7 Juli 2021   22:03 701
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tetapi dalam kasus orang lain, saya khawatir pujian yang dilimpahkan terlalu berlebihan padanya malah akan menjadi beban. Dan ketika menjadi beban, pujian itu akan merusak motivasi murni yang datang dari hati mereka menjadi dorongan untuk memuaskan kepercayaan orang lain.

Kepercayaan diri mereka pun turut merendah hingga akhirnya, mereka tidak bisa berbuat banyak terhadap dirinya sendiri.

Pola pikir yang statis

Masih berangkat dari pengalaman pribadi. Ketika duduk di bangku SMP, saya bergabung ke sebuah sekolah sepak bola. 

Di sanalah saya mencurahkan sebagian besar waktu dan harapan saya. Orang tua setuju, katanya saya pantas berada di sana.

Setiap hal kecil yang saya raih di sana, mereka akan memuji saya. Oh, nyaman; sangat nyaman. Bertahun-tahun berlalu dengan pujian yang melimpah, hingga pada suatu waktu yang melelahkan, saya merasa jenuh. Saya ingin berhenti dan mencari hobi baru.

Tapi, tidak bisa! Pola pikir saya sudah terlanjur beku, menganggap bahwa sepak bola adalah satu-satunya bidang yang bisa saya kuasai dan tidak ada hal lain yang bisa saya lakukan dengan baik. Inilah zona nyaman saya. Jika saya keluar, pujian itu tidak akan ada lagi.

Kenyataannya, saya masih hidup! 

Maksud saya, sudah bertahun-tahun saya memutuskan untuk berhenti dari sepak bola, menekuni bidang lain, dan saya tidak kehilangan sesuatu pun. Saya malah meraih banyak hal baru yang tidak pernah saya sangka dari jauh hari sebelumnya.

Ketakutan itu hanyalah proyeksi pikiran semata yang berusaha mengendalikan saya agar tetap berada di zona nyaman. Pola pikir statis yang membelenggu saya saat itu benar-benar menjadi iblis dari diri saya sendiri tanpa punya alasan yang jelas.

Pujian yang mengarah pada satu hal dengan terlalu sering akan membuat objek merasa yakin bahwa itulah bakat alaminya. Tetapi masalah terburuk baru akan tiba ketika dia membentuk pola pikir yang statis, mengira bahwa seluruh hal di dunia ini hanya akan menghancurkan reputasinya.

Dia akan berkembang dengan lambat, bahkan cenderung tanpa kemajuan. Atas alasan yang jelas, dia berlari di tempat.

Penghinaan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun