Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Fate seemed to be toying us with jokes that were really not funny.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kebebasan Berbicara: Hak Fundamental yang Banyak Disalahpahami

1 Juli 2021   06:00 Diperbarui: 1 Juli 2021   06:02 628
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kebebasan berbicara (yang mutlak) itu tidaklah ada | Ilustrasi oleh Gerd Altmann via Pixabay

The King of Lip Service. Saya tahu ke mana pikiran Anda berkelana saat membaca kalimat itu. Akan tetapi, yang ingin saya singgung bukanlah gambaran dari kasus itu, melainkan permasalahan yang melatarbelakanginya, yaitu kebebasan berbicara.

Meskipun isu ini terdengar membosankan, tapi kebanyakan dari kita baru sampai di permukaannya saja.

Seperti yang Bapak Presiden katakan dalam video tanggapannya, bahwa kritik semacam itu merupakan bagian dari kebebasan berbicara di negara demokrasi. Kenyataannya memang demikian: kebebasan berbicara dipahami sebagai hal mendasar dalam demokrasi.

Kebebasan berbicara dapat menyingkap segala informasi dan kritik yang dibutuhkan oleh masyarakat sehingga mereka punya bekal pengetahuan dalam bernegara.

Karenanya, kebebasan berbicara tidak hanya mencakup "mengungkapkan", tetapi berkaitan pula dengan "menerima".

Dengan begitulah diharapkan setiap warga negara punya pengetahuan yang luas agar partisipasinya dalam tata kelola negara dapat meningkatkan kualitas dan bukannya mengacaukan tatanan yang ada.

Bagaimanapun juga, kebebasan berbicara dapat menjadi sarana untuk memberikan keseimbangan antara stabilitas dan perubahan.

Kendati demikian, tujuan mulia dari kebebasan berbicara malah sering disalahpahami oleh beberapa pihak sehingga mereka menjadikan "kebebasan berbicara" sebagai dalih yang mengatasnamakan "kemuliaan".

Padahal, perilaku demikianlah yang kemudian mengotori "kesucian" konsep demokrasi.

Salah kaprah dari kebebasan berbicara

Jika kita merujuk pada KBBI, kebebasan diartikan sebagai keadaan bebas. Dan bebas itu sendiri (dalam sumber yang sama) berarti lepas sama sekali, merdeka, tidak terikat atau terbatas oleh aturan dan sebagainya.

Sedangkan dalam makna filosofis, kebebasan merupakan suatu kondisi di mana individu memiliki kemampuan untuk bertindak sesuai dengan keinginannya.

Tapi faktanya, kata "kebebasan" dalam adagium "kebebasan berbicara" tidak bisa diartikan demikian. Kalau mengartikan "kebebasan" secara harfiah, maka konsep kebebasan berbicara yang telah diakui sebagai hak asasi manusia berlaku mutlak.

Sekali lagi, faktanya tidak demikian.

Kebebasan berbicara hanyalah satu dari banyak hak asasi manusia yang diakui di Indonesia, bahkan di dunia. Dan dalam manifestasinya, semua hak yang dimaksud akan membentuk semacam sistem dalam Biologi di mana pelanggaran terhadap satu hak akan berakibat pada pelanggaran hak lain.

Keberadaan suatu hak juga berimplikasi pada adanya tanggung jawab. Tanggung jawab inilah yang kemudian kita sebut dengan "kewajiban". Di mana ada hak, di situ ada kewajiban; atau sebaliknya.

Misal, setiap orang berhak untuk hidup, maka timbul pula kewajiban yang menyertainya berupa kewajiban untuk tidak membunuh. Atau kewajiban warga negara untuk membayar pajak akan memunculkan hak di sisi lain berupa hak untuk menerima kelayakan fasilitas umum.

Begitu pun dengan hak kebebasan berbicara. Meskipun mengatasnamakan "kebebasan", tetap saja kebebasan yang dimaksud terbatas pada hak lain dan kewajiban yang muncul sebagai efek samping.

Anda dapat menemukannya dalam catatan hukum HAM di Indonesia maupun dunia bahwa kebebasan berbicara tidak dapat diakui sebagai mutlak, tetapi punya batas-batas tertentu yang berhubungan dengan pencemaran nama baik, fitnah, cabul, hasutan, sumpah palsu, keamanan publik, dan semacamnya.

Hal ini senada dengan "Harm Principle" yang dikemukakan oleh John Stuart Mill dalam On Liberty.

Saya tidak akan membawa sumber hukum mana pun. Saya hanya akan bermain sederhana dengan mengandalkan logika.

Secara gamblangnya, kebebasan berbicara punya hubungan dengan hak lain yang membuatnya tidak berlaku mutlak. Seperti yang saya ilustrasikan tadi bahwa pelaksanaan HAM itu seperti memahami sistem dalam ilmu Biologi.

Satu saja rusak, maka seluruh unsur di dalamnya akan terganggu.

Karenanya, kita tidak bisa berbicara sembarangan di muka publik. Perlu pertimbangan yang matang sebelum melayangkan pendapat, opini, pandangan, saran, apalagi kritik. Jika Anda gegabah dan sembrono, akibatnya bisa fatal.

Bukan hanya bagi diri Anda sendiri, tapi lebih buruknya dapat menimbulkan kegaduhan yang panjang di tengah-tengah masyarakat. Penting untuk memerhatikan konteks pembicaraan Anda, sebab kebanyakan dari kita akan menelan informasi sesuai paradigma mereka.

Ini seperti seorang aktor yang meneriakkan kata "api!" di tengah pertunjukkan teater. Bagi mereka yang tidak paham konteks teriakan sang aktor, maka mereka akan panik sejadi-jadinya karena mengira ruangan itu sedang terbakar.

Banyak di antara kita yang merupakan orang awam dan belum mampu berpikir kritis sehingga informasi apa pun yang ditelannya bisa dipelintir sesuai kepentingannya sendiri.

Di sinilah kebebasan berbicara menampilkan dirinya seperti sebuah paradoks yang aneh. Mengapa disebut "kebebasan" jika pada penerapannya terdapat batas-batas yang menyekat? Pada tahap ini, saya menyebutnya sebagai "Dilematik Kebebasan Berbicara".

Kebebasan berbicara tidak diakui secara mutlak ketika hal tersebut bertentangan dengan hak dan perlindungan lainnya. Jadi mengapa disebut "kebebasan"? Saya pikir, ada unsur psikologis yang terlibat di sini.

Andaikan kita mengganti kata "kebebasan" dari hak untuk berbicara, misalnya dengan kata "keterbatasan", maka paradigma masyarakat akan mengira pihak otoritas sebagai pihak yang totaliter.

Mungkin karena itulah mereka menekankan istilah "kebebasan berbicara", agar masyarakat tidak sungkan-sungkan untuk berekspresi dan mengemukakan pendapatnya.  

Meskipun kata "kebebasan" di sini tidak bisa diartikan secara harfiah, setidaknya masyarakat tahu bahwa mereka berhak berbicara.

Jadi kebebasan berbicara (yang mutlak) itu tidaklah ada. Ia hanya sebuah istilah dan bahkan ilusi belaka.

Tetapi ketika ada batas-batas yang menyelimuti kebebasan berbicara, orang-orang cenderung menjadikan itu sebagai dalih untuk melindungi diri sendiri seperti yang belakangan marak terjadi di negara kita.

Maksud saya, masyarakat kita menjadi anti-kritik! Entah karena mereka tidak memahami esensi dari sebuah kritik dan perbedaannya dengan hinaan, atau karena mereka memang suka bersembunyi di batas-batas kebebasan berbicara yang berlaku.

Mereka bagaikan kura-kura yang suka berselimut di dalam cangkangnya, tidak mau menerima kritik apa pun demi reputasi dan kehormatan yang telah dibangun sekian lama, padahal pada akhirnya kandas juga.

Apa jadinya negara ini jika untuk selama-lamanya tidak mau mengkritik dirinya sendiri?

Ini masih merupakan bagian dari Dilematik Kebebasan Berbicara.

Belum lagi, praktik kebebasan berbicara ini sering menjadi kesia-siaan yang malang. Karena hak berbicara tidak diiringi kewajiban untuk mendengar! Jika Anda menyampaikan kritik terhadap saya, maaf, saya punya hak juga untuk tidak mendengar Anda.

Dan jika Anda melayangkan aspirasi atau kritik kepada pemerintah, sayangnya tidak seorang pun yang punya kewajiban untuk mendengarkan, menyetujui, atau mengakui pandangan Anda. Bahkan tidak seorang pun juga yang berkewajiban membantu Anda dalam publikasi.

Tetapi dalam sistem demokrasi, apakah pemerintah yang semacam itu pantas disebut "pemerintah"? Kita tahu jawabannya.

Apa yang sebaiknya dilakukan?

Ada bijaknya kita menyadari posisi kita sebagai orang awam. Kenyataannya, tidak peduli Anda seorang ahli sekalipun, Anda selalu merupakan orang awam pada ranah tertentu. Inilah yang mestinya kita ingat baik-baik sehingga dorongan untuk berbicara asal bisa tertahankan.

Biasanya, mulut atau jari-jari kita begitu gatal ingin menanggapi sesuatu yang sedang hangat diperbincangkan. Masalahnya, kita selalu punya titik atau batas. Adalah kewajiban kita sendiri untuk mengetahui batas diri kita sendiri.

Dan kelayakan subjek dalam menyampaikan kritik tidak bisa dinilai dari status atau tampak luarnya. Bisa saja sebuah organisasi dikenal beranggotakan orang-orang yang kritis, tetapi jika mereka memaksakan kritik pada sesuatu yang tidak dipahaminya secara keseluruhan ...

Saya seorang mahasiswa Ilmu Politik, tetapi dalam beberapa perbincangan politik, saya benar-benar buram atas itu. Dan kebijaksanaan saya ditentukan di sana: apakah saya akan tetap berbicara, atau memilih diam dan hanya ikut mengamati.

Saya ingin kebebasan berbicara saya digunakan pada tempat yang tepat, dan begitu pula harapan saya terhadap seluruh masyarakat yang sekarang ini sedang labil-labilnya karena mudah tersulut oleh berita-berita panas.

Kebebasan berbicara itu mencakup tiga aspek: hak untuk menyampaikan informasi dan gagasan, hak untuk mencari informasi dan ide, serta hak untuk menerima informasi dan gagasan.

Jadi walaupun kita hanya menjadi seorang pengamat, kita turut menggunakan hak kebebasan berbicara kita. Tidak perlu khawatir. Risiko terbesar dari salah kaprah kebebasan berbicara adalah menghancurkan kemuliaan sistem demokrasi itu sendiri.

Lalu, kita juga mesti belajar bagaimana caranya mengkritik. Biasanya ketika orang-orang sedang mengkritik, mereka mengukuhkan hak mereka untuk berbicara. Akan tetapi, apakah mereka sendiri sudah memahami hakikat dari mengkritik?

Mereka yang berjiwa kritis akan sangat hati-hati dalam mengkritik seseorang atau sesuatu. Mereka paham betul bahwa inti dari mengkritik adalah berempati. Berempati berarti menempatkan diri kita sendiri sebagai objek yang kita kritik.

Misalnya, saya ingin mengkritik Bapak Presiden. Saya yakin beliau akan sangat terbuka dengan kritik saya, tetapi saya sendiri pun juga harus terbuka terhadap beliau. Maksudnya, saya harus menilai beliau secara objektif.

Saya mesti tahu bagaimana program kerja beliau, dan mengapa beberapa di antaranya belum terlaksana. Oh mungkin karena ada desakan dari program lain. Oh mungkin karena realitas yang terjadi sangat berbeda dari apa yang direncanakan.

Tetapi jika semua alasan itu tidak masuk akal, saya akan mengkritiknya. Kita tahu, kualitas seorang pemimpin tidak dibuktikan dengan ucapan-ucapan manisnya. Kita menilai kinerja dan hasilnya, bukan? Meskipun itu juga masih sempit.

Nah, daripada sindir-sindiran, saya pikir akan lebih baik kalau direncanakan diskusi terbuka. Tentu saya tidak merujuk pada permasalahan sepele, melainkan pada masalah-masalah darurat dan melibatkan kepentingan orang banyak.

Seperti yang telah saya singgung bahwa dalam hak kebebasan berbicara, tidak ada implikasi kewajiban objek untuk mendengar, menanggapi, atau mengakui. Tetapi dalam diskusi terbuka, setiap pihak berhak untuk berbicara sekaligus juga wajib untuk mendengarkan.

Saya tidak sedang berbicara debat publik. Esensi dari debat adalah menjatuhkan pihak lawan. Tetapi dalam diskusi, pihak yang terlibat bertanggung jawab untuk mencapai kesimpulan yang sama atas hasil diskusi.

Oposisi memiliki fungsi sosial yang vital dalam mengimbangi atau memperbaiki proses pembusukan birokrasi yang normal. Konsep dalam diskusi terbuka merupakan manifestasi dari cetusan dialektika ala Hegel.

Seseorang mempunyai tesis yang diangkat dalam diskusi, kemudian disuguhkan antitesis dari pihak oposisi, dan keduanya akan "bertarung" untuk kemudian menghasilkan sebuah sintesis. Sintesis itu bisa kembali menjadi tesis jika terdapat antitesis baru yang melawannya.

Pada akhirnya, hak kebebasan berbicara tidaklah sesederhana yang kita kira selama ini. Ada paradoks dan dilematik yang menyertainya. 

Kendati demikian, hak kebebasan berbicara merupakan bagian dari hak fundamental yang dimiliki warga negara dalam sistem demokrasi. Hak itulah yang menghidupkan negara demokrasi.

Memang terkesan cukup rumit, bahkan para filosof politik pun harus membahas satu masalah ini saja dalam buku-buku yang amat tebal.

Tetapi begitulah keadilan. Ia jarang menampilkan dirinya dalam rupa yang sederhana.

Mungkin saya tidak setuju dengan kritik yang Anda ajukan. Tapi jika ada pihak yang melarang Anda untuk mengkritik, saya akan membela Anda habis-habisan.

Saya masih punya banyak hal yang ingin dibicarakan perihal kebebasan berbicara. Tetapi saya pun juga punya hak untuk berhenti menulis di sini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun